Kisah di Restoran kala itu

Assalammualaikum Pembaca Budiman, Selasa malam di penghujung minggu terakhir bulan Agustus, Aku memutuskan untuk me time di sebuah restoran cepat saji yang tak jauh dari rumah. Setelah memesan makanan secara mandiri via sistem yang disedikan toko, kuputuskan untuk mencari tempat duduk di lantai 2, dekat jendela dengan view rel kereta. Ini adalah tempat favoritku, dengan siapapun jika ke sana, selama tempat itu kosong aku pasti memilih tempat itu. Rasanya menyenangkan bisa menikmati hidangan dengan sesekali melihat kereta api lewat. 

Selepas menikmati menu yang ada, seorang yang tak kukenal itu siapa, tertangkap mata karena mimik muka masam dan duduk memojok di depan play kids. Berkali-kali aku perhatikan pandangannya terfokus pada handphone yang ia pegang. Sesekali dengan posisi terduduk sambil merebahkan kepalanya diatas meja restoran. Kupikir saat itu dia baru saja melewati hari yang berat.

Dia duduk sederet dengan satu keluarga yang dapat ku pastikan bukan kerabat. Meskipun bersebelahan dengan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, nenek dan dua gadis lucu yang sedang aktif-aktifnya, dia tak bergeming dari posisinya, nampaknya dia benar-benar tenggelam pada apa yang dimunculkan dari handphonenya.  

Dari yang tertangkap mata, aku simpulkan hatinya sedang tak baik-baik saja, sama sepertiku yang kini duduk berhadapan dengannya. Kami tak benar-benar berhadapan, dipisahkan oleh satu set meja kosong namun mataku nampak jelas mengamatinya dengan leluasa. Hasratnya pada dunia seolah sirna terampas pada gadget tempat jari jemarinya menari diatas layar. Wajahnya lesu, entah karena malam sudah semakin larut, atau suasana hati yang sedang bergemuruh riuh.

FYI, mungkin karena suasana hatiku juga tak baik, aku menginterpretasikan wanita cantik yang ada di depanku itu memiliki suasana yang sama, galau. Ditambah dengan barisan lagu melow yang berkali-kali diputar melalui speaker restoran, makin menunjukkan gelisahnya. Kami adalah dua orang asing tak saling kenal yang hadir dikeramaian. Tak perlu memperhatikan apa yang dilakukan lain dan hanya sibuk dengan dunia masing-masing.

Sesekali aku menatap luar jendela, menyaksikan kereta yang lewat dari lantai dua tempatku berada. Cepat sekali kereta itu lewat, persis dengan isi kepala sedang beradu dan bertebaran dengan kejadian-kejadian tak mengenakkan akhir-akhir ini. Segalanya tumpang tindih, bahkan sampai binggung harus ngapain lagi untuk menghilangkannya. Hingga akhirnya aku putuskan untuk menyendiri ditempat ramai seperti ini.

Aku perlu me re-charges tenaga untuk kembali berkelut dengan masalah yang sedang kuhadapi. Setidaknya ini adalah Me time” versiku. Sekedar meleburkan jenuh atau membuang penat setelah seharian ditekan oleh keadaan yang melelahkan.

Kembali mengamati suasana restoran itu, pandanganku pun kembali pada dirinya yang kian diamati justru wajahnya bertambah sendu. Berkali-kali memutar pandangan, pada akhirnya aku tertarik menatapnya. Apa sebenarnya yang sedang dia rasa, sampai membuatnya untuk menegakkan kepalanya saja, terasa berat. 

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, berada dua jam di sana pikiran menjadi sedikit tenang. Padahal di sana hanya makan, liat sepur lewat, buka leptop pun ya cuma dibuka bentar buat cek blog abis itu udah di tutup lagi. Berencana buat tulisan juga mood lagi buruk. Yaudah nikmati aja apa yang ada sampai hati sudah feel better dan saatnya pulang. 

Semoga waktu yang dihabiskan di tempat yang sama. Bahkan saat aku memutuskan pulang lebih dulu, karena menurutku waktu untuk “sendiri” cukup dan dia masih di sana. Masalah yang dialaminya mampu diselesaikan dengan baik dan tak meninggalkan bekas luka apapun. 

Komentar

  1. Makan, traveling, meski cuma ke suatu tempat dan duduk doang, aku percya itu bisa menenangkan hati yg meronta ... Aku dl malah ke sawah hehe

    Semngat kk

    BalasHapus

Posting Komentar