Assalammualaikum Pembaca Budiman. Semoga sehat selalu dan
selalu dikelilingi oleh orang-orang baik ya. Aku tujukan artikel sebagai proses
memaafkan orang-orang yang sudah salah sangka, salah tunjuk dan mengkambing
hitamkan, aku atas kerumitan hidup yang menimpa mereka. Tulisan ini juga sebagai self
reminder, agar tak menjadi seperti mereka. Yang mengatasnamakan
perubahan, atau menuju ke arah lebih baik dengan menjatuhkan orang lain. Semoga
Pembaca Budiman juga tak demikian ya.
Kejadian
tak mengenakkan
Untuk
pertama kalinya. Aku membahas sesuatu yang tidak biasa di blog kesayangkanku
ini. Sebuah keresahan, mungkin sedikit emosional nantinya. Hehe, tapi aku
pastikan yang ini bukan sebuah kebencian. Bagiku benci seseorang atau
sekelompok orang itu justru perbuatan yang merugikan diri sendiri. Aku sangat sadar jika diriku
ini sangat berharga, jadi aku tak ingin menaruh racun yang namanya
kebencian bahkan untuk singgah sementara sekalipun. Aku memutuskan untuk berbagi
setelah banyak pertimbangan dan berdamai dengan semua hal yang aku alami.
Berdamai nyatanya memang sulit, terutama atas yang benar-benar menyakitkan hati. Namun, aku memiliki
alasan terbaik dan untuk memutuskan jalan seperti ini. Walau berat tak apa namanya juga proses. Pembaca Budiman juga bisa anggap ini sebagai postingan penutup di akhir Juli, mengingat aku sangat jarang sekali update
ataupun upload tulisan baru.
Barang
kali di luar sana ada yang mengalami hal yang tidak baik dari orang-orang
terdekat. Semoga artikel ini bisa jadi hiburan yang terselip acuan pembelajaran
yang berharga, agar Pembaca Budiman dapat memilah, memilih dan menyeleksi,
siapapun untuk dijadikan sebuah lingkungan yang sehat untuk ditinggali dan
dikasihi.
Baca
Juga: Childfree
atau Banyak Anak?
Ada
banyak hal yang aku alami setelah drama dalam cerita Keputusan
Terbaik, Ya Resign! termasuk dari orang terdekat. Awalnya sempat berpengaruh, namun tak lagi saat aku berencana untuk menulis ini. Sekali lagi, menulis adalah healing terbaik versiku. Aku sudah tak ambil pusing dengan perlakukan diskriminatif yang aku dapat, ataupun sikap playing victim dari seseorang saat
surat resign aku layangkan. Aku sudah pasrah toh kurang
beberapa hari saja jadi aku yakinkan untuk bisa bertahan sekuat yang aku
bisa.
Aku tahu
manusia tempatnya salah, begitu pun aku yang tak luput dari kesalahan,
kekhilafan dan ketidakbecusanku menjadi bagian di sebuah circle. Contohnya
saja circle pertemanan.
Mungkin atas tindakan, omongan, sikap dan kehadiranku membuat mereka tidak
nyaman. Aku akan meminta maaf dengan sangat tulus. Apabila masih belum bisa menerima maafku, aku sangat-sangat terbuka untuk dia menceritakan "kenapanya" saat itu, karena pasti aku pernah diposisi demikian. Selanjutnya, aku akan berhati-hati untuk berbicara ataupun bersikap, aku bisa pastikan itu, meskipun tentang hatinya bukan tanggung jawabku lagi. Berbicara perihal hubungan entah apapun itu. Berarti aku
tidak cocok dengan mereka. Begitu kan semestinya? Jadi lebih baik menjauh atau
jaga jarak.
Hal yang
menurutku sangat gila waktu itu. Mungkin bisa dibilang sakit hati yang teramat.
Haha. Hal-hal yang harusnya telah selesai beberapa tahun lalu, kemudian
dibicarakan kembali dengan emosi yang tidak pada tempatnya. Menumpahkan segala emosinya dan aku sebagai kambing hitam
dari semua peristiwa yang dialaminya. Please Aku bukan tipe orang yang
anti dengan kritikan? Aku terbuka sekali, bahkan, kritikan selalu aku anggap sebagai insight untuk upgrade diri (jika isinya benar dan berbobot, bukan alibi). Sayangnya, saat itu bukan insight yang aku terima, justru pelampiasan dan keinginan untuk membuat hati seseorang lega dengan membicarakan
hal yang tak pantas untuk dibicarakan lagi.
Baca juga : Walau hidup susah, tapi jangan lupa bantu orang lain!
Tak
ingin berurusan lagi
Aku
paham melupakan bukan perkara mudah, tapi berdalih demikian, yang padahal alur
cerita sudah narasikan sejak awal, lalu menyertakan “dukungan” dan memberikan approval, aku
pikir sudah
aman dan terkordinasi dengan baik. Nyatanya itu hanya kamuflase. Menyedihkannya
tunjukkan egois tersemat untukku dan aku harus memaklumi segala tuduhan dan
“sesak” dadanya saat itu.
Sempat
tidak terima dan berpura-pura untuk tidak sedih, tidak terluka juga tak mungkin, tapi aku memilih mengakhiri komunikasi lebih cepat. Membangun barrier yang
sebelumnya tidak pernah aku pikirkan. Aku tidak perlu memberikan penjelasan,
karena jawabannya sudah kujabarkan sejak awal dan biarlah seenak mulut dan pikirannya tentang aku. Mungkin ini adalah proses dari hal indah
yang akan aku dapatkan nanti, atas kejadian tak mengenakkan ini, meskipun
sakitnya hingga air mata luluh juga. Namun aku pastikan yang paham dengan
bagaimana diriku yang aku sendiri. I'm deserve to be happy and remove
all the things yang ngebuat perih, karena perjuangan utuk sampai di titik
ini juga melalui jatuh bangun yang gak boleh dianggep remeh.
Baca Juga: Hidupmu Ya Hidupmu, Hidup Mereka Bukan Standartmu!
Lalu
bagaimana sekarang? Meskipun masih memiliki luka, aku membiarkan waktu yang
menjawab dan menyembuhkan luka yang telah mematahkan sebuah kepercayaan. Aku
tak ingin menjadi manusia amatir, mudah hilang ingatan dengan kebaikan
seseorang. Oleh sebab itu aku tak memilih benci ataupun mendendam. Ingatakanku
tak akan aku gunakan, untuk mencari cara membalas sebuah keburukan dengan
keburukan, kalau pun aku dilukai aku tak akan membalas dengan melukai.
Hamdalahnya
ada hikmah yang aku petik dari semua peristiwa itu. Apakah gerangan? Hehe. Aku
bisa memilah mana yang baik, mana yang pantas, mana yang patut dan mana yang
layak untuk dijadikan lingkungan dan sandaran. Begitu intinya.
Hidup
itu asyik kalau dijalani dengan positive
mindset didukung dengan lingkungan yang memperlakukan kita baik. So
kalau ada yang membuat rumit aku lebih memilih mundur dan tak bersinggungan
lagi, meskipun itu dari lengkup terdekatku sendiri.
Seorang
teman lainnya juga memintaku bertanya pada diri sendiri “apakah berpengaruh jika yang
melukai ada dan tidak di hidupmu?” aku menjawab “tidak” secara pergaulan tidak
berpangaruh, karena memang begitu kenyataannya. Maka dari itu, dia menyarankan
untuk aku beranjaklah lalu berada di lingkungan yang saling nriman (menerima)
dan saling menghargai.
Seseorang
yang menganggap sahabat terdekatnya
Berbicara
soal pertemanan, aku tipekal orang yang mudah sekali berbaur. Sekiranya yang
bersangkutan tak ingin didekati, aku akan menghindar, karena aku juga tak mau
diriku terlalu dianggap rendah ataupun tebal muka. Aku pun pernah dianggap
orang seseorang yang menurutku dekat. namun menuduh jika aku memanfaatkan
saat membangun pertemanan.
Sejujurnya
aku tak pernah sekalipun menganggap teman adalah sesuatu yang bisa
dimanfaatkan. Namun, jika itu yang ia pikirkan, rasanya lelah juga harus
menjelaskan jadi aku memilih membiarkan dia berpikiran liar tentang aku, kerena
perihal pertemanan itu berbagi perasaan bukan berbagi kekecewaan.
Dari semua peristiwa ini sebuah angin segar muncul. Entah kenapa seorang teman yang lainnya mengklaim bahwa dia nyaman denganku dan aku termasuk 1 dari 2 teman terdekatnya. Aku terdiam, aku tak menyangkan dia akan mengatakan demikian, seterbuka itu dia dengan aku, dengan perangaiku dan paham betul apa yang aku sampaikan tersebut. Dia juga berpesan, tak perlu aku report-repot memikirkan apa yang aku timpa, karena dari gaya bahasa dan tulisan yang dikirim padaku, tanpa penjelaskan apapun dia sudah paham, kalau aku dijadikan kambing hitam. Untuk Dia, aku berterima kasih, mungkin proses dewasa juga membantu kita untuk bertemu dengan orang yang tepat untuk disebut sahabat. Meskipun waktu bersama yang kami miliki tak banyak.
Semoga kejadian tak mengenakkan ini tak Pembaca Budiman alami. Pada akhirnya yang harus percaya pada diri kita ya tentunya diri sendiri. Memang benar membiarkan orang lain berbicara apapun tentang kita itu menyakitkan. Apalagi mereka yang hanya mengisi kebencian dalam hatinya, karena setiap orang selalu berperan antagonis dan protagonis dalam hidup seseorang. Dan langkah mudah mengatisipasinya adalah menutup telinga sendiri daripada berusaha menutup mulut mereka. Have a good day Pembaca Budiman!
karena pada akhirnya, kita tidak bisa mengontrol pikiran dan kelakuan orang lain, kita hanya bisa ngontrol diri sendiri. Itu yang saya masih belajar banget melakukannya. Semoga kita sama2 belajar lebih berkembang ya mbak :)
BalasHapusBetul mba terus berkembang, cut off circle yang tak baik. Daripada sibuk meminta orang untuk paham tentang kita, lebih baik membiarkan mereka berpikir sesenangnya, karena kalau sudah benci apapun kebaikkan juga tidak akan ternilai. Jadi aku lebih baik tutup mata dan telinga mendengar ocehan yang tak penting.
Hapuspura "budeg mbak...bukan kita cuek atau antipati..tapi kalau mengganggu ya babay ajalah dari pada kita yg makan hati , ini yg kadang aku lakukan walau kadang masih berat,tapi kalau ingat sakitnya ya mendingan lupain sekalian
BalasHapusHehe bener mba. aku ini gampangan modelnya, gampang cuek, gampang gak respect. Meskipun inget juga kejadian tersebut bukannya sakit hati lagi sih, tapi aku paham kok Tuhan punya cara untuk balasnya gimana. Gitu aja.
HapusWah aku setuju banget mbak Dian.aku juga pernah mengalami yang mirip kayak gini..ya sudahlah, mereka nggak mempengaruhi byk ke hidup kita kok...menjauh adalah kuncinya karena kita nggak bisa mengontrol otak orang dan perilaku orang tapi bisa mengatur respon kita terhadap suatu masalah yang menimpa kita :) semangat
BalasHapusTernyata yang aku alami juga dialami orang lain. Semoga kita menjadi bagian orang-orang yang legowo dengan hal yang tidak mengenakkan tersebut ya mba Enny, gak membalas hal buruk dengan perilaku buruk. Kita masih diminta belajar tentang kehidupan. Bener adanya mereka tidak berpengaruh kehidupan kita ini.
HapusBetul, kalau kita gak bisa menghindari negativity di sekitar solusinya cuma satu: hindari.
BalasHapussetuju kak, percaya sama diri sendiri adalah hal utama :') semangat dan sehat selalu ya kak
BalasHapusAku dari dulu memang tipe bodi amat dengan orang2 yg aku anggab toxic atau ga suka denganku mba 😁. Malah kadang heran, kok bisa sepeduli itu Ama aku, sampe mengorek semua masalahku, padahal aku aja ga Mandang even sebelah mata ke mereka 🤣🤣.
BalasHapusDulu saat kerja pun temenku terbatas. Krn memang aku ga mau mendekat kalo tau orangnya sirikan, suka gosip ga jelas, yg begini tipe yg pasti aku jauhin. Dijadiin kambing hitam sekalipun, kalo kita selama ini nunjukin performa bagus, temen2 atau atas yg melihat kerja kita, juga pasti ga akan percaya.
Percaya deh, dengan kita cuek, mereka yg toxic itu bakal semakin kepanasan 😂😂
Haha dulu aku juga orangnya bodo amat mba, kek males mikir yang negatif2 dari orang, tapi gak tau kenapa semakin ke sini semakn terasa. Haha, jadi sekarang mencoba untuk menghidupkan rasa bodo amat itu lagi, bodo amat mau dibicarain di belakang, mau disindir, mau dibikin tweet ataupun status, udah masa bodo. Mungkin hidupnya kurang variasi jadi cari variasi dengan cara kek gitu. Hehe
HapusSaya kalau udah gak sreg dengan seseorang mendingan menjauh. Gak sreg di sini kalau udah dirasa toxic, ya. Dan, memang lebih nyaman seperti itu. Istilahnya jadi bisa lebih waras hahaha.
BalasHapusBetul kak, selain karena toxic, masuk ke zona nyamannya kita tanpa melibatkan mereka di dalamnya juga perlu dilakukan.
Hapussatu peringatan yang bagus juga..juahi orang yang toksid
BalasHapusIya wajib itu mas!
Hapus