Topik Yang Harus Selesai Sebelum Menikah

Topik Yang Harus Selesai Sebelum Menikah

(sumber: pinterest.com)

Assalamu'alaikum Pembaca Budiman. Hari ini cuaca terasa panas ya? Jangan sampe hati juga ikutan panas. Mari ngadem, berhenti di pos es kelapa muda pinggir jalan, nikmati  setiap seduhan dengan angin sepoi-sepoi, sambil ngrobrolin soal menikah yuk.

Menikah itu enak gak sih? Mungkin ada yang tanya? Enak but it hard like a roller coaster. Aku juga pernah membahas sekilas di beberapa tulisan sebelumnya. entah kalian pernhatikan atau enggak. Marriage is not easy like people think.

Aku menikah di usia yang dapat dikatakan gak muda-muda amat. 28 itu tua enggak sih? Masih muda ya? belum terlalu tua juga kan. Hehe. Keputusan menikah juga sudah  benar- benar matang dipikirkan. Sampai akhirnya i think that he is the one i needed. 

Sebelum ke arah menikah, aku harus melihat bibit, bobot, bebet calonku. Kok sampe segitunya, peritungan, banyak kriteria? Gak gitu ya Marni. Haha. Memiliki Kriteria untuk calon pasangan kita nantinya itu perlu.

Menikah is a serious thing, jadi harus cari yang benar-benar bisa membimbing, mengayomi, mendidik dan memberikan contoh yang baik. Menikah adalah ibadah seumur hidup, jadi bukan main-main. Wajib hukumnya kita punya Kriteria untuk calon pendamping  for the rest of our life . Pastinya dibarengi dengan kita  meng upgrade diri yaa. Gak asal pengen nikah, tapi kitanya gitu-gitu aja sedangkan kriteria yang kita patok terlalu tinggi untuk diterima nalar. Hehe

Baca jugaKapan Kamu Menikah?

Dulu, ketika duduk di bangku sekolah menengah atas,  aku memiliki impian menikah di usia tidak lebih dari 25 tahun. Kalau menurut perhitunganku. Lulus sekolah 2010 melanjutkan kuliah dan akan lulus di tahun 2014, kemudian kerja 2 tahun dan menikah. Itu targetku jika mengikuti alur yang aku ciptakan. Tapi takdir Allah berkata lain, aku post pone keinginan kuliah selama 2 tahun setelah tidak menerima SNMPTN di tahun pertama dan karena kontrak kerja di tahun kedua. Di kesempatan ketiga sekaligus terakhir untuk bisa bergabung dengan Universitas Negri ,  aku Kembali mendaftar kuliah di tahun 2012 dan lulus di tahun 2016.

Entah kenapa, setelah lulus kuliah aku mengurungkan niat untuk menikah. Padahal usia saat aku lulus itu 26 tahun. Selain belum menemukan jodoh, rencananya aku ingin fokus membangun karir dan dapat pergi kemanapun tanpa pamit yang rumit kecuali izin orang tua. Gitu! Emang kalau punya pacar harus pamit kemana-mana? Menurutku sih iya. Gitu gak sih kalian? Hehe.

Lalu, di akhir Juni tahun 2018, aku berkenalan dengan seseorang bernama Dipasuta. Hasil dari perjodohan temen sekantor. Selama bertemu akhirnya kami membahas banyak hal, sampai di tahun 2019 kami memutuskan menikah. Cepat ya? kayak kejar tayang nih kayaknya. Hehe. Sejujurnya aku sangat-sangat  insecure and not comfortable untuk berkenalan dengan cara perjodohan. aku takut. Takutnya, dia akan kecewa denganku, terutama kelakuanku yang sangat barbar (tidak menunjukkan wanita anggun. Hehe, mungkin kalau dia kenal sejak dulu dia akan ilfeel). Aku cukup rendah diri untuk mengakui jika aku pantas untuk siapapun. Serious im not into it makanya aku jomblo cukup lama. Haha.

Entah kenapa dengan seorang Dipasuta ini, segalanya seperti dimudahkan semesta. Semuanya serba mendukung termasuk keluarga kami berdua tanpa ada kendala sedikit pun. Nah, dalam jangka waktu satu tahun dari kenal sampai dengan menikah. Mas Dipa menunjukkan keseriusannya, bahkan semua perkenalan antar orang tua, lamaran, balas omongan, itu semua di awal oleh idenya. Aku sungguh-sungguh santai, tidak nggoyo dengan pikiran harus menikah dengan cepat. Bukan berarti aku tidak serius dengannya. Aku nyaman, bahkan apa yang aku harapkan menjadi pasangan ya ada di dia. As a couple he treats me well, like a queen, but  if we talk about marriage, i've to think twice. Kalaupun aku akan menikah, dia harus tau seluk beluk keluargaku bagaimana. Sedangkan aku masih maju mundur untuk menjelaskan latar belakangku seperti apa. 

Setelah menjelaskannya pun, aku sempat mempersilahkan dia untuk menemukan seseorang yang lebih dariku. Yang mungkin tidak mempersulit hidupnya kelak. Aku akan legowo melepaskan tanpa kecewa sedikit pun. Drama ya? But thats consequence. Aku tak mau lelah di kemudian hari ataupun ada perdebatan setelah kami berada di titik paling serius, kami tak ingin berselisih tentang hal yang harusnya bisa diselesaikan di awal. Dia tidak berniat mundur, justru memberikan afirmasi yang baik. i.m touched. 

Pembahasan pun berlanjut, meskipun seagama ada beberapa nilai yang harus kami clear kan di awal. Tentang bagaimana keyakinannya begitupun denganku. Menyepakati tentang keyakinan masing-masing selesai, selanjutnya tentang  do and dont's terkait dengan rumah tangga kelak. Alasanku melakukan diskusi itu, sejujurnya didukung dengan banyak stereotip yang lekat di masyarakat. Setelah menjadi ibu rumah tangga ruang lingkup akan terbatas, hanya akan berkutat dengan dapur, anak dan ranjang. Sedangkan menurutku, menjadi istri tidak harus dibatasi aktivitasnya, istri tetap bisa memiliki  me time , karir dan segala pekerjaan rumah bisa di handle berdua. Takutnya dia tidak sepemahaman denganku terkait kehidupan pernikahan. Mungkin diskusi ini juga yang bisa kalian gunakan ketika kalian akan memutuskan untuk menikah.

Pekerjaan

Im not quit my job itu yang aku ungkapkan pertama kali saat Mas Dipa, ehh sebutnya ganti Mas Bojo aja ya. Kami membahas bagaimana kehidupan pernikahan kelak. Aku tidak akan berhenti bekerja hanya karena aku menikah. Aku akan berhenti, jika ada masanya dia merasa mampu memenuhi kebutuhanku secara lahir dan batin. Dia sedikit terkejut, karena menurutnya apabila ingin berpenghasilan, seorang wanita itu tidak harus bekerja, dari rumah pun bisa bekerja dengan berwirausaha.

Aku menolak. Aku masih belum siap berwirausaha. Pasti butuh biaya dan persiapan matang untuk tidak merasa mental breakdown  saat dagangan tidak laku. posisinya saat itu aku nyaman dengan pekerjaan yang sedang aku geluti. Sekali lagi aku tidak mau harus mengorbankan pekerjaan ketika aku harus bergelar istri. Menurutku itu tidak adil. Mengapa pria setelah menikah bisa tetap bekerja dan menjadi kepala rumah tangga, sedangkan ketika wanita menjadi istri, dia harus tinggal di rumah mengurus segala keperluan anggota rumah. Seolah menjadi istri tidak memiliki peluang untuk sukses meniti karir. Menjadi istri tidak serta merta harus melepaskan keinginannya untuk tetap berdikari  and he accepted!, so  aku tetap melanjutkan bekerja.

Keuangan

Uang suami uang istri, uang istri tetap menjadi istri.

Pasti sering kan mendengar ungkapan seperti itu? awalnya emang seru ketika belum menemukan pasangan. Bisa berucap ngawur dan mengiyakan pernyataan itu, tapi ketika mendekati masa-masa akan berumah tangga, maindset pun aku ubah, aku tidak bercita-cita mengakuisi ekonomi bojo. Aku hanya mengingatkan mengenai kewajibannya apa saja terkait masalah nafkah  which is dia pasti lebih paham.

Visi misi dalam mengatur keuangan harus mencapai mufakat sebelum kami menikah. i'm realistic  sedikit banyak kasus perceraian yang terjadi atau pemicu keretakan rumah tangga dimulai dari ekonomi yang tidak transparan. Kami mengetahui tentang penghasilan kami sebelum menikah untuk apa saja sejauh ini, apakah memiliki tanggungan atau hutang dan sebagainya. seberapa sering membeli barang-barang, dan melakukan aktivitas liburan. make it clear

Saya enggak pernah memaksa Mas Bojo harus memberikan nominal tertentu penghasilannya. Yang penting dilaksanakan dan sesuai dengan kebutuhan kami. Nah Mas Bojo mempercayakan untuk aku yang mengatur keuangan rumah. Oke setuju.

Pekerjaan Rumah

Seperti yang aku katakan di awal, aku takut jika menjadi istri lingkup seorang wanita akan terbatas, hanya berkelutan dengan dapur, anak dan ranjang. pernah berkunjung dan ikut mengamati keluarga Mas Bojo yang mendukung pertanyataan tersebut, jadi tambah panik. Aku takut dia mengamini hal tersebut. Meskipun pada kenyataanya, keluarga Mas Bojo sangat tidak merasa keberatan dengan pembagian pekerjaan rumah di tangan istri dan urusan nafkah adalah suami. 

Menurutku pribadi, Jika semua tugas di menangani istri dengan pemahaman jika istri adalah sosok wanita yang notabene selalu menggunakan perasaan dalam segala hal, ya suami juga bisa menggunakan logika untuk memahami bagaimana pekerjaan itu diselesaikan. Jika suami mengatakan tidak bisa atau tidak sabar (tidak sabar), ya harusnya kesabaran itu menuntut. 

Jika istri yang harus mengurus semua pekerjaan rumah  like a slave, right?  i dont want it

Menikah bukan untuk menambah beban seorang wanita. Benar-benar Ya ! Sedangkan di masa kecilku. Ibu dan bapakku bekerja sama mengurus rumah. Mereka selalu bergantian meskipun sama-sama bekerja. Menurutku kehidupan rumah tangga seperti itu adalah impian.

Oleh sebab itu, aku mengutarakannya, walaupun aku menjadi istri pekerjaan rumah harus dibagi. Paling tidak, ketika kita sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tidak akan diperparah ketika tiba di rumah. Saling memahami dan bertanggung jawab pada rumah yang kami tempati.

Tempat tinggal

Setelah menikah aku tidak ingin  tinggal dengan mertua ataupun dengan orang tuaku. Menurutku itu demi kebaikan dan untuk menjaga hubungan silaturahami tetap baik. Kalaupun masih belum ada rumah, kami bisa kos ataupun ngontrak untuk sementara waktu. 

Alhamdulillah Mas Bojo setuju. Kami ingin mandiri mengatur rumah tangga yang akan dibangun nantinya. Jauh dari orang tua, tidak membuat kami khawatir karena sesekali kami akan bergantian berkunjung. Setidaknya sampai sini perspektif tentang tempat tinggal setelah menikah menemukan kejelasan.

Sex life

Terakhir, obrolan dengan Mas Bojo agak tabu, padahal kami belum menikah. Hehe. Karena ilmu kami hanya berdasarkan katanya dan artikel yang tersebar di Mbah Google, kami mulai menyamakan pendapat terkait sex life after married ini. Mula-mula ragu membahasnya. Menurut kalian sopan gak sih tanya “kamu masih perawan/ perjaka?” ke calon pasangan. Hehe. For me itu penting banget. Penekananya ini sekali lagi menurutku, nilai yang aku pegang teguh.

Aku sangat menjaga keperawanan sampai pada masanya aku menikah, beruntungnya itu juga yang Mas Bojo pegang. Sejujurnya kami sama-sama awam soal sex life but we try not to ignored kalau itu bahasan penting untuk rumah tangga kami nantinya. Berapa anak yang akan kami miliki, bagaimana hubungan ranjang yang baik dilakukan dan masih banyak lagi.

Sekarang setelah kami menikah, semua diskusi diatas terlaksana dengan baik. Aku dan Mas Bojo menikmati moment tinggal berdua. Adapun perdebatan, hanya kami berdua yang tahu dan yang dapat menyelesaikannya tanpa campur tangan orang tua ataupun pihak lain. Kami menikmati waktu untuk tumbuh dan saling menyayangi satu sama lain.

baca juga: Q&A setelah Menikah

Semoga kita memiliki rumah tangga yang sesuai syariat Islam yakni Sakinah, Mawaddah, Warahmah, entah apapun masalah yang akan datang dapat diselesaikan dengan baik, dan dijadikan sebagai pelajaran untuk kami terus berpikir ke depan. Nah,  menikahlah apabila kalian pembaca merasa mampu, jangan lupa list dulu apa yang harus dibahas berdua sebelum tangan si pria berjabat tangan dengan pak penghulu. Karena setelah kata "sah" dan tiba-tiba menjadi pandangan tentang pernikahan, itu akan memicu koflik yang tiada habisnya. Semoga tidak yaa..

Komentar

  1. Uang suami uang istri, uang istri tetap menjadi istri tha'ts true..:D
    sudah sewajarnya dan ada juga dalam hadits suami wajib menafkahi istri dan uang istri bukan uang suami

    soal interview about sex experience wajar saja ditanyakan secara personal sebelum memasuki jenjang pernikahan, cuma yaaa gitu sih ada yang jujur adakala yang terbuka tentang hal tersebut

    btw nice share tentang topik yang harus selesai sebelum menikah, ditunggu komen backnya ya..makasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. menafkahi bukan mengakuisisi uang bojo. Hehe , tapi kalau di persilahkan untuk pegang ya masa istri mau nolak. Hehe.

      emang topic virginity kadang kala sensitif banget ditanyakan, tapi aku yakin gak semuanya parno dengan pertanyaan itu dan gak semua juga akan bertanyaan akan hal itu.

      Hapus

Posting Komentar