Aku senang duduk ditepi danau ini. Menikmati setiap angin yang mengoyak ujung jilbabku. Desiran anginnya mampu menenangkan rumitnya pikiran meskipun sekelebat. Hiruk pikuk dunia kadang berbisik di telinga, apalagi diiringi drama yang kadang buat diriku kesal juga. Setidaknya, dengan duduk di sini, mampu menggeser sejenak penat yang melekat.
Aku menarik nafas panjang, sekali lagi duduk di sini membuatku mampu merasakan sunyi yang aku kagumi. Seharusnya aku bersyukur aku bisa hidup sejauh ini dan menikmati mentari yang masih terbit dari timur. Tidak membuat segalanya menjadi lebih kacau termasuk dengan perkara hati. Perkara yang seharusnya sederhana namun prosesnya menyita teori semesta.
Aku pernah dihadapkan pada situasi yang aku sendiri
merasa tak mampu mengatasinya dengan segera. Saat itu aku sedang giat-giatnya
menuju tujuanku. Lalu, beberapa kerikil muncul dan melukai kakiku. Sempat aku
memaksa berjalan meskipun berdarah-darah, meringis kesakitan sebab luka semakin
melebar. Hingga akhirnya aku memilih berhenti. Sungguh aku tak mampu berjalan
lagi. Aku butuh berhenti sejenak. Memikirkan diriku sendiri tidak
bertindak menyedihkan.
Lalu, aku duduk di sini menangkan diri, memeluk luka
batinku sendiri. Sembari menyiapkan mental dan mempertebal niatan. Mungkin karena setiap orang punya cara untuk menenangkan pikiran, jadi aku
memilih cara demikia -Berdiam meleburkan diri dalm lamunan dan mengumpulkan
keberanian. Aku sadar hal seperti ini juga dialami banyak orang. Saat
mereka sudah menentukan tujuan, mereka akan dihadang dengan banyak ujian,
sepertiku.
Pikiranku kembali jernih. Renunganku usai. Danau ini pun yang menjadi saksi. Semua kenangan, semua kesusahan, pun dengan bahagia yang akan kudapatkan nanti melayang-layang dalam pikiran. Iya, aku hanya butuh waktu untuk bisa kembali ke niatku. Aku butuh ruang untuk tenang. Rasanya, tak semua yang terjadi di dunia ini butuh jawaban pasti. Namun, yang jelas segalanya harus dilalui dengan hati-hati. Jika pun nanti aku terpeleset dan terjatuh lagi, aku diminta merebahkan diri (lagi). Kemudian bangkit dan segera berjalan menyelesaikan apa yang sempat tertinggal. Aku tak akan menyebutnya gagal, karena setiap pencapaian orang itu berbeda, seperti takdir yang sedang dilewatinya.
Komentar
Posting Komentar