Si Penulis Yang Menikah

Sedikit flashback di hari akad tepatnya tanggal 23 Agustus 2019 jam 13.00 WIB. Mungkin baru bisa cerita bagaimana proses dan akhirnya sah si penulis jadi istri. Lantaran sejak kapan hari masih sibuk buat buka amplop, pindahan, dan beres-beres kamar untuk dua orang sekaligus dan terakhir back to reality  that I’m a worker. Hari itu, aku bukan datang di kondangan teman sebagai tamu, bukan datang sebagai supporter yang cukup bilang sah, TAPI datang sebagai yang di AKAD. Sebagai mempelai wanita. Jabatan yang kutunggu-tunggu dari tahun ke tahun. Jabatan terbesar dalam sejarah hidupku

Setelah ba’da sholat jum’at, aku dipekenankan untuk duduk di tempat yang telah disediakan untuk mempelai wanita. Aku duduk di antara Ibuku dan calon ibu mertuaku. Semuanya menggunakan pakaian dan jilbab dengan warna senada sesuai dengan rencana.  Terlihat anggun dan cantik. Sedangkan aku yang menjadi pemeran utama menggunkan kebaya putih panjang dengan kain jarik sebagai bawahannya. Ini hari ku, hari bahagia dalam hidupku. Si penulis akan meniqah. ALHAMDULILLAH. Tapi sebelum akad diucap, dag dig dug jantungku menjelang detik-detik itu rasanya semakin cepat. Aku hampir tak bisa mengontrolnya, untung saja ada budenya si mas yang begitu grapyak ngajak aku ngomong ini itu. Suasana menjadi sedikit hening ketika MC acara memulai membuka suara. Untuk memulai acara Sayup-sayup tapi pasti, terdengar suara bapak yang sedang dituntun oleh pak Penghulu untuk mewakilkan akad hari itu. Posisi bapak duduk di depan si Mas yang dipisahkan oleh meja persegi, dan berada diseberang tempat para shaf perempuan. Aku bisa melihatnya dari celah-celah, beliau terbata-bata meniru perkataan pak penghulu. Hatiku haru, mendengar dan melihat prosesi,di mana peralihan tanggung jawab akan segera berpindah.

Bisa dibilang ada banyak hal yang harus dilalui sampai menguras berat badan untuk terciptanya moment tersebut di hari jum’at yang penuh berkah. Tapi itu bukan hal yang pas untuk dibahas saat ini, dipikir-pikir wajar juga kalau ada yang akan menikah dirundung masalah dari banyak sisi. Yang terpenting kata orang-orang, yang sabar saja menjalani. Mau ada masalah apa, salah satu kudu bisa ngebuat suasana adem dan ga tersulut emosi. Akhirnyaa.. terjadilah proses sakral tersebut.

Begitu akad diucap oleh si Mas “Qabiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur”, hal pertama yang berubah adalah tanggung jawab. Bapak sudah bebas tugas dari segala tanggung jawabnya atas aku - anaknya yang kinyis-kinyis ini. Semuanya sudah take over ke si Mas. Dan saat itu juga, aku harus sadar, kalau aku ini selain jadi anak, aku juga sudah bergelar seorang istri dari seseorang. So.. fase baru kehidupan just begin, Tak lama setelah itu, Si Mas dianjurkan menjemputku untuk duduk di depan pak penghulu dan  kita berdua diwajibkan menandatangani “kontrak” hidup sampai surga. Amin.. amin..

Sampai saat ini hitunglah jalan 3 minggu hidup serumah eh jangan serumah tapi pernikahan kita. Kalau lagi berdua dan ngobrol tentang proses tersebut, sembari dipeluk doski bilang “kita ini udah sah kan ya?” . Akunya manggut-manggut ke enakan dipeluk. So para pembaca budiman, apa mau dilanjutkan ceritanya ? Feel free comment on bellow



Komentar