Tanpamu Kurasa Aku Mampu!

Jatuh cinta tak serta merta harus lapang dada menerima seperti apa pasangan kita. Jika rasa itu mengarah pada hal yang serius, pernikahan misalnya. Tentu ada banyak pemikiran yang harus dibagi. Kebiasaan-kebiasaan apa yang tak harus dilakukan lagi. Bukan  tak menerima. Menikah itu soal kesepakatan. Jika kebiasaan itu hanya bisa menghancurkan bukankah lebih baik ditinggalkan?. Bukan memaksa untuk bertindak seperti pasangan inginkan. Tapi menghargai pasangan agar tak ada salah paham. Ditambah memastikan pasangan memiliki rasa nyaman melakukan hal-hal yang dapat diterima nalar

Satu porsi mie ayam yang masing-masing ada di hadapan kami siap untuk disantap. Rintik hujan menemani kami menghabiskan malam. Sembari menunggu reda, kami bertukar cerita tentang apa saja. Karir, keluarga ataupun hari bahagia lainnya. Aku pun tergelitik untuk tahu perkembangan hubungannya (FYI, bukan karena ingin ikut campur, tapi temanku ini teramat berharga kalau jatuh kepelukan ke orang yang salah). Semula aku hanya iseng bertanya bagaimana kondisi hatinya kini pasca 2 minggu tak bertemu. Sayangnya Dia memintaku untuk tak mengulas apapun perihal hati ataupun menyebut nama seseorang itu “you know who”. Baiklah aku tak permasalahkan. Toh selama dia dapat tersenyum puas sampai akhir we can enjoy our memorable moment no matters what!  Jadi saat itu, kita lebih memilih membicarakan karir masing-masing, tapi tiba-tiba nada bicaranya begitu berat. Pandangannya tak tentu. Mungkin karena mengingat kekasihnya  yang selalu saja berbuat ulah dan finally she speaks up about her truth feeling.

Bukannya dia tak cinta, hanya saja bersama justru membuatnya lebih terluka. Kekasihnya berbagi rasa  dengan orang yang tak bisa ia anggap itu orang biasa. Sayangnya dia tak bisa menyuruhnya berhenti. Bukan karena tak punya kuasa, tapi yang di cinta mengatakan hanya perasaan kasihan dengan sesama. Tak melibatkan perasaan tapi terus menerus berbagi kabar layaknya orang kasmaran. Sesama dengan model apa yang sedang dianutnya. Cinta yang pernah digadang-gadang temanku diawal, ternyata tak semanis perjalanannya hingga saat ini. Dia sadar tak ada yang mau mengalah diantara mereka berdua. Bahkan ketika dia berusaha mencegah pun, hanya akan berakhir dengan keadaan yang sama-sama marah.

Terlalu banyak kebohongan yang kekasihnya lakukan. Pun jika dibuat perkara hasilnya akan sia-sia. Seperti perkataanku sebelumnya, hanya akan berakhir dengan saling lempar salah. Kini dia malah terbiasa pura-pura buta. Lebih memilih untuk diam dan membiarkan entah seseorang itu layak disebut kekasih atau bukan untuk melakukan semaunya. Dia hanya ingin menjadi satu-satunya. Bukan kedua atau cadangan saat seseorang hanya ingin singgah sebentar. Namun sebelum itu, dia harus berjuang melawan rasa bersalahnya. Bersalah telah ada saat orang itu telah berpunya dan tak tau apa-apa setelah rasa yang namanya cinta berkembang dengan sempurna.

Aku hanya bisa menepuk pundaknya, berharap dia paham aku ada disampingnya. Mendengar setiap detail kisahnya dengan setia. Aku pernah berkata padanya jika kewaajibanku hanya memberi saran disertai pelukan jika diperlukan. Selebihnya aku akan mendukung keputusannya. Apapun itu. entah tetap dijalur bersama ataupun berpisah dengan cara yang berdarah-darah. Aku akan tetap disampingnya. Menemaninya dan tetap menjadi orang yang menyebalkan tapi selalu dirindukan.

Aku sangat lega. Jika keputusan dia untuk berada dijalan yang berbeda dengan kekasihnya saat ini adalah pilihan yang terbaik. Meskipun dia akan berjuang menyingkirkan rasa cinta yang masih bersemanyam didada. Mengingat ada banyak “kebaikan” yang pernah kekasihnya tebar tapi disertai dengan banyak kebohongan. Dia masih ingin bertahan dengan pendirian, berpisah sampai keduanya dipertemukan dengan kondisi yang sama-sama siap. Siap untuk menyongsong kehidupan yang lebih layak. Sedikit bocoran Kekasihnya memang pintar mencari celah untuk bisa menarik kembali temanku ini. Bukan karena temanku yang lemah, tapi karena temanku yang kelewat baik dimanfaakan stock unlimited forgiveness- nya.

Ada kata magic yang always she said again and again. setiap batinnya lelah mencela dan mengutuk rasa sayangnya; “tanpa dia, aku bisa!”. iya dan akhirnya aku tertawa terbahak-bahak. Bukan menghina. Tapi kalimat magic ini kadang hanya berlaku selama satu minggu. Dan akhirnya mereka kembali. Semoga kali ini tidak.

Terakhir, matanya menatapku dengan penuh kenyakinan. Dia justru memberiku banyak saran dari pengalamannya berhubungan. Salah satunya, selama pasanganku hanya menatapku, menganggap aku adalah dunianya, dan rela menjadikan aku yang pertama setelah keluarga maka aku diminta untuk mempertahankannya. Aku terkekeh mendengar ucapannya itu. seolah-olah apa yang dia sampaikan adalah harapan yang ia gantungkan agar aku tak seperti dirinya. Mungkin sebab itu aku tak bisa jauh-jauh darinya. Sekedar untuk saling sapa lewat sosial media saja kami sudah kecanduan.


“Aku sering bertanya pada diriku sendiri, apa mungkin aku yang tak peka dan terlalu menuntut yang tak sepantasnya. Apa iya aku yang terlalu sering melukai hingga resah tak sekalipun berkeinginan sudah dan berakhir dengan kelopak mata yang basah”

Komentar