Cerpen Tentang Arashi - Baikkan

Maafkan ya pembaca yang budiman. Akibat kesibukkan yang juga menyita waktu berkencan di dunia maya. Cerpen tentang Arashi tertunda dari awal tahun. Aku syedih sungguhan. Tapi ini lagi berusaha mengejar ketertinggalan. Doain ya, part selanjutnya bisa lebih cepat dan segera ending biar bisa buat cerita mini selanjutnya.

Suasana menjadi canggung, kami duduk berdua di dalam mobil. Tentang keberadaan Tia, Aras memintanya untuk turun dan mengatakan akan berkunjung kesuatu tempat lain waktu. Di depanku dia masih berusaha mengatakan kalimat seperti itu. gak ada cewek yang marah kalau cowoknya masih aja ngebuka komunikasi sama cewek yang paling dicemburui.

Begitu aku mendengar kalimat Aras barusan, Emosiku sudah di ambang bata. Melirik keras Tia, lampir satu itu hanya mengangguk dan berjalan pergi dengan santainya. Tak lupa senyuman sinis ia sematkan padaku seolah dia tau apa yang akan terjadi.

 “masih mau jalan sama dia lagi?, mau kamu itu apa sih, Ras?” Bentakku padanya

 “Bintang, kamu salah paham?” 

 “pacar mana yang gak salah paham, ngeliat pasangannya lagi jalan berdua dengan cewek lain”

 “Bi, aku ada tugas kuliah dan..”

 “Dan kamu satu kelompok sama Tia, Basi tau, Ras!”  Nada bicaraku sudah meninggi namun berbeda dengan sikap Aras, dia masih terus berusaha tampak tenang.

 “kamu kok kayak anak kecil gini sih” kalimat Aras seolah menamparku, Bukannya kita sudah sepakat  untuk tidak menggunakan kalimat itu, hanya karena salah satu pasangan bertingkah. Bukan berarti itu tidak ada alasan dibaliknya. Sedangkan apa yang aku lakukan menurutku itu benar. Wajar jika aku cemburu padanya. Aku ini kekasihnya.

“Ras kalau kamu udah tau aku kayak anak kecil gini, kenapa masih cari masalah dengan jalan sama Tia. Kalau kamu anggep aku anak kecil, kenapa kita terus-terusan kayak gini dengan persoalan yang sama?” Bentakku padanya

Aras tau, jika baru saja dia sudah melukai dengan melontarkan kalimat itu. “maaf , Bi, aku gak maksud buat ngomong gitu”

Suasana menjadi hening kembali. Perdebatan kami berhenti. Sekarang kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Rasanya hubunganku dengan Aras akan selalu seperti ini. Aku percaya padanya, namun aku juga dikecewakan disaat yang sama.

“Bi, entah aku harus bilang berapa kali sama kamu, aku gak ada apa-apa dengan Tia. Kita hanya sebatas teman sekelas. Tolong percaya padaku, yaa?”  pintanya sembari memberikan tatapan hangat. Tanganya mengelus pipiku yang basah dengan airmata

“kalau itu terjadi antara aku dan Gito, apa kamu masih tetap diam aja?, kalau aku satu tim sama Gito, apa kamu gak masalah. Jujur ya, Ras aku ngehindarin Gito karena aku pikir itu bakalan ngebuat hati kamu sakit, aku pengen jaga perasaan pasanganku”

Aku meraih tangan Aras, kemudian melepaskannya pelan. Mungkin emosiku sudah hilang, tapi tidak dengan kecewaku. “Aku pulang sendiri” ucapku singkat, kemudian keluar dari mobil Aras.

***

Satu hal yang aku sadari dari peristiwa saat itu. Hubungan kami memang akan tetap seperti ini. Cemburuku tak pernah padam jika sesuatu tentang Aras kerap dikaitkan dengan Tia. Mungkin karena aku takut kehilangan Aras. Aku tak ingin terlihat menyedihkan. Tetapi hatiku sakit jika mengingat hal itu. Jatuh cinta itu saling menjaga, saling percaya. Jika jatuh cinta hanya bisa menghadiahi luka, untuk apa terus-terusan bersama. 

“kita Cuma teman, Bi. Jangan kamu berpikir macam-macam. Aku sayang sama kamu, Cuma kamu” ucapannya kala itu yang terniang-niang di pikiranku.

Setiap ingat kalimat itu, emosi kembali memuncak. Aku percaya Aras tak mungkin berkhianat, namun ketakutanku kehilangan orang yang aku cintai juga sering menghantui. Kuakui sejak hari itu, aku minta aras untuk tak mnghubungi ataupun menemuiku sementara waktu. Kupikir itu cara yang tepat untuk kami memahami keinginan masing-masing.

Dua minggu, Aras tak menghubungiku. Selama itu pun aku tak pernah melihat dia mondar-mandir di kampus. Mungkin dia memang menuruti keinginanku. Dia gak paham apa kalau aku ini kangen denganya. Rasanya aku ini terlalu cinta dengan dia, sedangkan dia gak sedikitpun kepikiran denganku. Basa-basi datang ke fakultasnya waktu itu, dan ketemu Bagas temen angkatannya,  aku baru tau kalau dia ada Study kampus di luar kota, gitu pun dia gak bilang ke aku. Maunya apa sih dia, apa dia  pengen putus dari aku?. Aras nyebelin

“Bintang. . . . . Bintang” suara yang gak asing lagi menurutku, dan ketika aku toleh, sudah ada tangan yang nangkring di pundak

 “aduh” 

 “Bintang. . . lo apa kabar?” tanya si monyet ini. Gak tau kenapa tangan laki yang gak lulus sensor ini tiba-tiba nomplok di bahu. Jika ada champion buat lomba SKSD disini, ni orang yang bakalan aku pilih sebagai pemenangnya. Gito si monyet tampan ini

 “Apaaan sih, To Sok SKSD Lo!, awas tangan lo, risih gue!”

 “Yaelah, ganas amat neng. Takut Dika cemburu Ye, yuk ke kelas bareng, hari ini kan lo sekelas sama gue” ajaknya 

 Omongan si monyet ini tak perlu di indahkan, emang bener ya. Manusia kardus ini resek.

 “meskipun gue, sekelas sama lo monyet kampus, gue ogah bareng” Sungutku padanya. Aku pernah bilang kan, gak perlu perduliin soal sungkan atau kudu  pake bahasa yang baik dan benar kalo ngomong sama dia mah, emang dia gak punya hati. Ngeloyor pergi dari dia, si Monyet malah ngintilin dari belakang bisa jadi karena emang kelas kita sama. Bodoh amatlah sampai dia teriak-teriak kayak orang gila.

Noleh kekanan saat mau masuk gedung fakultas, aku sempat melihat mobil Aras diparkiran FISIP, aku ingat benar dengan nomer polisinya. Kenapa dia parkir disini ya ? kan ini bukan fakultasnya.

 “Bi. . . . .jalannya jangan kenceng-kenceng dong, kayak di kejar anjing aja” gerutu Gito yang saat ini berada disampingku

 “iya, gue kayak dikejar anjing, kan elo anjingnya Minggir!!”

 Aku mengambil kursi yang sengaja pojok dan deket jendela, bukan apa-apa ya karena seger aja kena angin gitu. sSekalian biar Gito gak deket-deket kayak lem. Ngomong-ngomong lem, rasanya aku dan Aras dulu juga seperti itu. Cek sosmed berkali-kali gak ada pesan sekalipun dari dia. Kebangetan itu laki. Kalau hubungan kita justru ngebuat aku dan Aras makin jauh dan gak nyaman, aku lebih milih lepas dari dia dan kembali seperti semula. Buat apa ada kalimat sayang-sayangan kalau ternyata hubungan kita udah mulai hambar.

****

Seperti hari-hari sebelumnya, karena dua minggu ini Aras gak nongol dihapadapanku, aku sudah mulai terbiasa tanpa dia meski kadang kangen gak tau mau muncul tiba-tiba. Setidaknya aku sudah bisa menghilangkannya perlahan-lahan. Aku akui kalau aku cemburu setengah mati ke Tia, tapi emang wajar dong cemburu, Aras cowokku dan Tia sengaja mau ngedeketin Aras lagi. Dia sadar apa ya kalau Aras gak mau sama dia dan pilih aku. Dasar lampir sialan

Melewati parkir Fisip mobil Aras masih disana, aku jadi penasaran kenapa dia parkir sini dan kalaupun tujuannya ke aku, kenapa gak ngehubungi aku atau cari aku dikelas. Aku intip kaca mobilnya, bak maling yang lagi cari barang berharga di mobil-mobil kece, ya begitu sekarang posisiku.

“Bintang..” tepukan pundak mengagetkan posisiku yang lagi jelajahi mobil

 “Aras..”

 “Ngapain kamu celingukan kayak gitu? Cari aku?” tanyanya tanpa rasa bersalah. Ini anak perlu digibas atau gimana ya. Masa iya dia gak ada gitu kangen-kangennya sama aku atau sekedar basa-basi gitu, kan kita gak ketemu udah 2 minggu ini.

 “enggak… ngapain cari kamu” ucapku ngeloyor dari Aras. Bisa mati kutu kalau aku terus-terusan disitu

 “tunggu..tunggu, mau kemana sih” cegahnya

Nah.. gini kan enak, jadi ngerasa kalau aku itu di berati kalau pergi, Aras ihh.. kadang gak peka sekali. Oke posisi sok cuek  “Apaan sih!!, aku mau pulang”

“Bi… kita perlu ngomong, soal kapan hari” Tanpa persetujuan, Aras menarikku menaikki mobilnya. Dia membawaku ke taman yang tak jauh dari komplek perumahan. Kita hanya stay di dalam mobil tanpa bicara apapun.

“hmmm mau ngomong soal kapan hari, yang mana ya ?” sejujurnya ini kalimat begok maksimal yang terlontar dari bibir manisku, basa-basi ini mungkin perlu, dan salah satu cara melumerkan suasana diantara kami. Udah jelas-jelas aku inget bener, kita terakhir kali  ketemu di kampus dan itu dengan kondisi yang gak baik. Tapi aku luwes aja gitu tanya kalau dia bakal ngomongin soal apa.

“Bintang, aku sayang sama kamu.” Ucapnya pelan.

 “hmm terus?”

“kok ketus gitu ngomongnya?, kamu gak kangen aku? Aku aja setengah mati nahan kangen buat gak ketemu kamu”  Nada bicaranya seperti Aras yang aku kenal dulu. Kalem dan adem didengar telinga. Tapi balik lagi ngomong sayang, tapi 2 minggu gak ngasih kabar. Sayang apa woi!!

“kangen kok dua minggu gak ngasih kabar, itu kangen namanya ?, itu sayang ?” sindirku

“aku ada di pelosok Cimahi, dan gak ada sinyal. Aku coba hubungin kamu pake nomer lain, tapi gak kamu angkat”

Bener juga, beberapa hari lalu, ada panggilan lebih dari 10 misscall dari tanpa nomer, karena aku gak kenal , jadi aku biarkan. Siapa tau penipu yang mencoba melakukan hipnotis by phone, who’s knows?. Yaudah lah tetep pasang muka cuek. Pura-pura gak ngerti

“ya siapa suruh,kamu telp pakai nomer lain. kamu pasti paham kalau bukan nomer orang yang gak aku kenal, gak bakalan aku angkat” sanggahku

"jadi masih marah soal Tia nih?, Bi... kalau nomerku bisa ngehubungi kamu, ku ya telp pakai nomerku sendiri. Berhubung nomer itu gak ada sinyal, jadi aku pakai kartu lain" alibinya 

"Bi... . Aku harus jelasin berapa kali ke kamu, aku dan Tia itu cuma teman. Aku udah sering bilang gitu ke kamu kan, aku sama Tia gak pernah ada apa-apa, kita sebatas teman angkatan dan kerja kelompok, that’s it!. Gimana caranya aku ngeyakinin kamu kalau aku cuma sayang ke kamu, Bintang sayang” 

Aras tersenyum diakhir kalimatnya. Senyum ini yang bikin aku kadang meleleh kalau lagi debat sama dia. Tapi untunglah, karena hati masih panas, nama mak lampir disebut-sebut lagi, jadi aku bisa kontrol itu.

“Sekarang gini deh,Ras. Kalau kamu sayang sama aku, kamu gak bakalan ngilang tanpa kabar selama 2 minggu. Kamu gak ngabari aku selama itu, kamu kira enak nunggu kayak gitu. Kalau kamu minta kita udahan, ya ayok!” tantangku ke dia. Ops, kalimat terakhir diluar kendali. Ngelihat raut muka Aras, aku pikir dia cukup shock dengan kalimatku barusan.

“Bintang kamu ngomong apa sih!, gak ada putus-putus karena masalah sepele. Aku gak suka denger kamu gampang ngomong putus kayak gini. Kan aku juga udah jelasin kalau nomer aku gak ada sinyal” Aras menggelengkan kepalanya dengan ekspresi sebal.

“kamu anggep masalah Tia sepele, tapi bagi aku itu gak, dia bumerang dihubungan kita, Ras!. Aku gak suka kamu deket-deket sama dia. Sekarang aku yang balik, gimana kalau Gito deket sama aku, as a friend like you with her, how do you feel, Ras? , Sakit gak ngelihat orang yang kita sayang deket sama orang lain, yang jelas-jelas orang yang ngedeketin itu ada maksud lebih dari temen!!”  Mataku menyorot pas di matanya. Aku bisa membaca tatapannya iba padaku.

“kamu gak akan paham, Ras, kamu gak akan paham, gimana senggak sukanya aku sama Tia, bahkan aku benci dia deket kamu…Apa kalimatku barusan keterlaluan kalau aku gak suka sama dia. Kamu inget gak, aku semeja sama Gito kapan hari waktu dikantin, lalu kalian berdua buat keributan. Padahal dia hanya duduk didepanku dan itu ditempat umum. Kamu udah kayak kebakaran jenggot. Lalu aku harus gimana, Ras ngeliat Tia ngesenderin kepalanya di pundak kamu, bahkan satu mobil berdua sama kamu, apa itu gak kelewatan??” lagi-lagi aku nangis buat ungkap kayak gini. Jantungku bedegup kencang. Airmata udah kayak air terjun yang lagi kangen sama bumi. Deres banget jatuhnya

“sender apa sih, Bi. Aku gak..”

Aku mengeluarkan ponsel, dan menunjukkan gambar yang Tia upload di sosial medianya “apa ini bukan kamu? Jelasin apa orang yang di ada digambar ini bukan kamu?”

Aras melihat gambarnya. “ya ampun, Bi.. iya itu aku tapi…”

“nah kamu sendiri aja ngaku kalau itu digambar itu kamu, meski gak kelihatan mukanya, salah kah, Ras kalau aku cemburu? Temen model apa yang demper-dempet pacar orang kayak gitu?, kalau kamu anggep aku sebagai pacar kamu, kamu gak bakalan, Ras jalan berdua sama dia kayak kemarin. Itu yang kamu anggep sayang” Isakku padanya.

 “ngelihat kayak gini, ditambah omongan kamu yang nge iyain kalau orang digambar itu kamu, maklum gak kalau aku marah kayak gini? Coba posisiin diri kamu jadi aku, Ras!

Aras hanya diam menatap aku menangis, entah gak tau gimana muka aku sekarang, yang bisa aku pastikan maskara, blush on dan eyeliner yang aku pake pasti luntur dan gak karuan ngehias muka. Aku melempar pandangan keluar jendela, membuka kaca mobil untuk cari udara. Malu juga sebenernya muka udah kayak badut gini didepan Aras.

“sekarang kamu dengerin aku ya..” suaranya pelan, wajahku dihadapkan ke mukanya, tangannya menyeka airmata serta kosmetik yang udah luntur di pipi

"lihat ni, make upnya luntur semua, aku sayangnya Cuma sama kamu, aku juga gak paham kenapa ada foto itu. Aku inget bener, saat itu Tia, yang disebelahku tiba-tiba sandar di pundak, lalu aku usir, aku gak tau kalau dia ambil foto itu. Kalau kamu maunya aku ngejahuhin dia sejauh-jauhnya, aku bakalan lakuin. Maaf ya, Bi.. kalau aku bikin kamu kecewa kayak gini, aku bener-bener gak tau kalau kamu sampai sebenci itu dengan Tia”

Airmataku berhenti, lagi-lagi aku luluh dengan sikapnya. Tapi, tiba-tiba jantungku semakin dekat ngelihat Aras semakin mendekatkan wajahnya padaku dan hanya berjarak 5 senti. Apa dia mau nyosor ya, apa aku kudu merem ya, yaudah lah merem aja. Cukup lama merem, Aras malah gak ada kabar, pelan-pelan buka mata, ternyata dianya malah tersenyum jahil.

 “kamu merem kenapa, Bi?” Ringisnya puas

Mendengar kalimat itu aku gelagapan, “gak .. aku gak kenapa-kenapa, ayo pulang”  lalu membenarkan posisi duduk dan pandangan lurus kedepan. Melirik kesamping, Aras hanya tertawa senang. Duh… Aras ih, jadi malu sendiri kan. Tiba-tiba Aras menarik daguku dan sebuah kecupan kecil mendarat di bibir. Oke Fix. Jantung mau copot.

Komentar