Baru-baru ini ada yang bikin resah. Sebuah puisi
yang menyinggung SARA. Banyak muslim yang tak terima dan katakan saja, aku
menjadi salah satunya. Menariknya, setelah puisi itu dibacakan lalu
disorot berbagai media. Tentu pro dan kontra segera melekat padanya. Beberapa
menyuarakan dengan bijak meskipun hati mereka marah, Namun diksi yang mereka
gunakan sejuk untuk didengar bahkan kalimat yang tertuang terkait
ketidakterimaan mereka sungguh enak dibaca. Seolah emosi mereka terselimut
dengan sabar. Akan tetapi, beberapa orang mengatakan keberatan mereka dengan
lantang dan keras. Seolah-olah menunjukkan jika puisi yang telah menjadi viral
itu memiliki banyak sekali kecacatan di dalamnya. Terutama disampaikan oleh
orang yang berpengaruh dan menjadi panutan banyak orang.
Bu – aku akan panggil engkau ibu, mungkin karena
usiamu sejajar dengan usia ibuku. Ini adalah tanggapanku. Tanggapan atas puisi
yang telah engkau bacakan kala itu. Entah, setelah ini, aku tergolong orang
seperti apa di antara keduanya tadi. Sabar atau lantang dan tak berperasaan.
Setidaknya dengarkan suaraku ini. Meskipun sekedarnya saja.
Baca Juga: Opiniku Untuk Ibu Pertiwi
Bu – Aku ini orang yang sama sepertimu atau bahkan
lebih rendah pengetahuannya jika itu berkaitan dengan agama. Pengetahuanku
masih sebatas tahu. Tentang syariat islam yang kau jadikan bandingan, aku juga
masih belajar lebih dalam. Jika tanggapanku ini keliru, silahkan dibenahi.
Semata-mata segala yang aku tulis ini dari lubuk hati.
Bu, harapan yang kau gadang-gadang untuk seseorang
yang kau sebutkan melalui puisimu itu kurang tepat. Dalih meminta dia untuk
lebih produktif, engkau justru terlihat primitif. Andai saja, setiap kata yang
kau susun itu tepat untuk menunjukkan betapa bangganya kau padanya. Dan tidak
menyinggung syariat agama yang aku yakini. Mungkin aku yang bodoh ini tidak
turut berkomentar. Berkat silah lidahmu itu tentang adzan dan cadar, bisakan
jika aku mengatakan kalau engkau telah kelewatan, bu?. Hingga banyak orang
berduyun-duyun memprotes ciptaanmu itu.
Engkau bilang engkau tak tahu tentang syariat islam. Jika kau tak tahu, kenpa
engkau berani berkata jika konde lebih cantik dari cadar. Lalu, engkau
bandingkan suara kidung yang lebih merdu ketimbang adzan. Sungguh pernyataan
itu menimbulkan kekecewaan bagi anak-anak bangsamu yang mengidolakan sesosok
seperti engkau. Atas dasar apa ibu mengatakan demikian ?. Ilmu apa yang coba
engkau ajarkan kepada kami, melalui puisimu itu. Jika ingin terlihat berkesan,
apakah harus engkau melakukan perbandingan dengan syariat agama?
Sejak kecil aku sudah beragama islam. Katakanlah aku di doktrin jika itu
terkait dengan keyakinan. Namun, menjelang remaja doktrin itu berubah menjadi
sebuah hidayah dan aku menikmatinya. Meskipun begitu, ilmu agamaku masih kurang
sehingga orang tuaku mengajikan diriku di sebuah surau kecil. Dari sana sedikit
banyak aku mulai belajar tentang syariat islam. Perihal cadar yang dikenakan
beberapa wanita, mulanya aku juga heran dan bertanya pada diri sendiri, kenapa
mereka berpenampilan demikian. Mereka hanya menyisihkan satu garis di mata. Aku
sempat takut bergumul dengan mereka. Tetapi, perlahan-lahan, aku mendapatkan
pemahaman dari guru ngajiku. Bercadar tidak menunjukkan dia lebih mulia
daripada kita. Derajat kita sama di mata Sang Maha Kuasa. Namun, dari mereka aku
bisa belajar, perjalan untuk menggapai ridho Tuhan sangatlah beragam. Beberapa
ulama mengatakan jika cadar itu wajib. Untuk melindungi maruah mereka sebagai
wanita. Tetapi, beberapa mengatakan jika cadar tidak diwajibkan. Dari seluruh
pendapat itu, aku dapat pastikan tidak ada di antara mereka yang mengatakan
jika; wanita berkonde lebih indah daripada mengenakan cadar.
Perihal adzan, aku tak mengerti kenapa ibu, berkata
jika gaungannya kalah dengan suara kidung. Apakah sedalam itu, ibu memaknai
suara kidung?. Hingga engkau lupa jika adzanlah yang pertama kali kau dengar
ketika engkau dilahirkan. Atau aku yang keliru perihal itu. Entahlah, semoga
kekeliruanku dapat meringankan stigma buruk yang sudah terlanjur aku lekatkan
padamu. Secara pasti, itu tak akan menghapus kekecewaanku padamu, Ibu.
Bu, puisimu itu melukai muslim dan muslimah. Kau
pasti sadar jika saat ini, negara yang kau dan aku huni sedang gencar-gencarnya
dilanda isu SARA. Kenapa kau perparah dengan puisi seperti itu?. Jika pun
engkau mengaku khilaf dan memohon maaf sembari meneteskan beberapa butir
airmata. Kami, yang juga sama sepertimu manusia biasa tentu akan memaafkannya.
Semua orang pasti pernah berbuat salah. Hanya saja, dari tangisanmu itu, engkau
meminta kami untuk melupa, itu satu perkara tersendiri yang sulit kami abaikan
begitu saja.
Maaf, jika atas tanggapanku ini, aku tak meminta maaf padamu ibu. Aku harap kedepannya engkau lebih berhati-hati ketika berucap. Semoga dengan segala kejadian ini, ada hikmah yang mampu engkau petik pun dengan kami semua saat ini. Jika ada hal yang menurutmu belum engkau pahami pasti, terlebih menyoal syariat suatu keyakinan. Lebih baik engkau diam. Namun, jika mengharuskan engkau untuk bertutur di depan banyak orang, kuharap engkau bertanya dulu pada yang lebih paham.
Komentar
Posting Komentar