Rasanya
gak ada hari tenang saat ini antara aku dan Aras. akhir-akhir ini. Selalu saja ada konflik
contohnya saja saat ini. Hubunganku dengan Aras merenggang akhir-akhir
ini. Mungkin tak seperti dulu jika aku ada masalah dengannya aku akan
mengindar, aku lebih memilih tak menjelaskan kenapa aku berubah acuh padanya.
Kali ini, sesuai kesepakatan kami, apapun permasalahannya kami akan bicarakan.
Setelah tahu Tia satu kampus dengan kami. Bahkan satu fakultas dengan Aras. Aku
menggali informasi lebih. Entah Aras sengaja menutup-tutupi atau memang tak mau
tahu, ternyata Tia tak pernah ada rasa dengan Gito. Mereka hanya bertahan 2
bulan. Dan peristiwa di mall beberapa waktu lalu adalah ending dari
mereka berdua. Aku sebenarnya tak perduli meski hubungan mereka berakhir, hanya
saja foto yang Tia posting dengan Aras meskipun tak tampak wajahnya membuat aku
penasaran.
Dan sialnya
lagi Bagas, teman satu angkatan Aras pernah bilang jika Tia kerap sekali
memper-memper ke Aras. Sebalku memuncak, Aras sama sekali tak pernah singgung
soal Tia didepanku. Berkali-kali aku redam amarahku dengan berpikir positif
Aras gak mungkin flirt, dia gak
suka sama Tia. Namun, pikiran buruk selalu aja datang kala aku lihat postingan
foto itu. Semuanya mengumpul dikepala dan akhirnya pikiran jelekku yang menang.
Aras sengaja menutup-nutupi.
Hari ini
Aras akan datang kerumah, katanya ada sesuatu yang perlu dijelaskan padaku.
Kebetulan sekali aku juga mau sampaikan tentang ini. Semuanya mengusik
pikiranku hingga aku tak senang sendiri. Jam 4 sore, Aras sudah mengabariku
jika dirinya dalam perjalan kerumah. Kebetulan Bunda dan Ayah sedang ada acara
kondangan jadinya aku dirumah sendirian.
“Assalammualaikum”
“walaikumsalam”
balasku yang tak beranjak dari sofa ruang tamu. Ketika kepala kutolehkan
kebelakang sudah ada Aras yang masuk kedalam, karena memang sebelumnya aku
berpesan untuk masuk saja dan menunggu di ruang tamu.
“sini
duduk” aku menepuk tempat duduk sampingku dan bergeser
Aras
memberikan senyumnya kemudian duduk disampingku. Kita saling pandang, pandangan
Aras kali ini sama sekali tak membuat aku terkesan dan dia pun paham.
“bunda
mana?”
“bunda lagi
ada arisan di komplek sebelah, bentar aku ambilin minum mau apa?” tawarku
padanya.
“air putih
dingin aja”
Aku
meletakkan air putih dingin dan kue yang bunda buat tadi pagi diatas meja. Kami
terdia sesaat. Lalu Aras menarik nafas panjang terus menghembuskannya
pelan-pelan. Memanggil namaku dengan nada rendah. Aku paham, dia ingin
menyelesaikan masalah seminggu belakangan ini. Aku menunggu dia menyelesaikan
apa yang terbesit dikepalanya.
“aku mau
jelasin sesuatu, soal foto yang kamu ss waktu itu” jelasnya langsung ke inti
permasalahan kami
“butuh
waktu berhari-hari ya, jelasinnya?” sahutku sinis
“bukannya
gitu, kan setelah kamu ngasih tau, aku langsung jelasin tapi kamu nolak itu.
Kamu kayak gak mau dengar”
“kamu
bohong Aras!, kamu bohong ke aku, itu masalahnya!”
“aku tau
aku salah, tapi aku gak maksud bohongin kamu, Bi”
“gak
maksud?” aku mengulang apa yang disampaikan Aras, memastikan jika ucapan Aras
barusan adalah kesalahan
“aku gak
maksud bohongin kamu, kalau aku cerita aku lagi sama dia, kamu pasti salah
paham, ya kan?”
“sekarang
lihat? Kamu gak cerita apa aku gak salah paham?!!”
“mangkannya
itu aku mau jelasin semuanya, aku juga kaget kalau Tia satu angkatan denganku,
kemarin dia muncul tiba-tiba dari belakang pas aku sama anak-anak yang lainnya
lagi nongkrong di kantin, ku gak tau kalau dia ambil foto itu”
“bukannya
kamu bilang dikelas!, kamu juga bohong soal itu?”
“aku
dikelas tapi gak lama, karena dosennya cabut setelah ngasih soal. Aku gak
ngehampiri kamu soalnya temen-temen minta aku nunggu bentaran dan Tia ada
disana waktu itu”
“Ras,
dalam sehari itu udah berapa kali kamu bohong. Kamu kayak kebakaran jenggot aku
deket sama Gito, tapi kamu sendiri?!!!!”
“Bi, kok
marah-marah gini sih, kan aku mau jelasin, aku minta maaf aku salah. Tapi
sungguhan aku gak ada maksud kayak gitu” pintanya meraih tanganku, namun aku
segera melepas paksa. Masih belum terima aku dengan apa yang baru saja dia
jelaskan
Aku
menatapnya dengan pandangan sebal “aku gak masalah kalau memang dia satu kelas
sama kamu, aku percaya sama kamu, tapi kalau kamu udah bohong kayak gini dan
gak jujur. Mana bisa aku percaya sama kamu lagi, Ras. Bukannya kamu bilang
kalau kita harus saling terbuka?”
Aras
menatap mataku lekat, rasanya cairan bening yang dari tadi tertahan meleleh
membasahi pipi. Aku memang cenggeng tak bisa menahan hingga Aras pulang dari
sini.
“aku minta
maaf, Bintang” ucapnya penuh penyesalan. Wajahnya berubah sendu tak seperti
tadi yang masih menyimpan amarah. Cowok itu menunduk, punggung tanganku
berkali-kali ia usap. Matanya memandangku sayu. Mungkin dapat dikatakan aku
luluh dengan sikapnya yang seperti ini
***
Sejak hari
itu, aku minta Aras untuk tak mengusikku tentang Gito, kita sepakat untuk
saling percaya. Sulit memang percaya pada orang yang telah membohongi kita
dengan cara jitunya. Tapi tetap saja jika dihadapkan dengan perasaan, semuanya
itu seolah menjadi angin lalu. Memilih untuk memaafkan dan memberikan
kesempatan baru itulah cara yang kami pilih. Aku memberi kesempatan Aras untuk
bisa merubah pemikirannya. Tak lagi posesif dan membiarkan aku berteman dengan
siapa saja. Untuk masalah Tia dan Gito. Masing-masing dari kami sebisa mungkin
menjaga jarak pada manusia aneh itu.
“nanti
kamu pulang sendiri apa nunggu aku?” tanya Aras dalam mobil sebelum
menurunkanku didepan fakultas
“aku
pulang sendiri aja, kamu kan sampek sore. Kelasku Cuma sampek siang daripada
gabut mending aku pulang”
“heem”
angguknya sembari tangan kanannya mengelus puncak kepalaku.
“belajar
yang bener, tolong kondisikan kalau sekarang udah punya pacar!!” tegasku
padanya sebelum turun
“siap bos”
ucapnya dengan memberi hormat yang kemudian di iringi tawa kami.
Langkahku
ringan menuju kelas dilantai 2. Hari ini jadwal kuliah Public
Speaking, beruntungnya dosenku tak sekiller teori komunikasi.
“Bintang”
tempukkan kudapat sebelum melangkah masuk kedalam kelas.
“eh, Dira.
Baru pulang kerja?” sapaku pada sesosok yang aku hapal betul selama kuliah
disini. Dia hanya mengangguk, matanya terlihat seperti panda. Mungkin dia
begadang setelah menyelesaikan pekerjaan paruh waktunya. Aku kagum dengan dia,
aku yang saat ini masih bergantung pada orangtua. Sedangkan dia, sudah bisa
menghidupi orang tua dan dua adiknya yang sedang sekolah.
“tugas
udah selesai dikerjain?” tanyaku.
“udah kok”
Selesai
kelas aku dan Dira menuju kantin kampus. Kebetulan hari ini dia Off kerja
siang, tapi sore dia harus kembali di restoran. Anehnya satu perkerjaan libur,
dia selalu punya kerjaan lainnya “lo gak capek apa, Ra’ kerja mulu?, setiap
hari pula kerjanya, gak ada libur”
“kalau
gue merasa capek, keluarga gue gimana?. Haha. Kebetulan gue gak ngerti rasa
capek itu definisinya apa yang jelas, gue ngerjain semuanya dengan senang hati
kok” balasnya tanpa beban sekalipun.
“mau makan
apa?”
“nasi
goreng aja”
“tunggu
disini aja, biar gue yang pesenin hitung-hitung gue traktir temen baru gue”
pintaku padanya ketika dia akan bangkit dari kursi
“haha,
oke”
Tak lama
setelah itu, aku kembali membawa dua piring nasi goreng dengan telur mata
sapi sebagai penghias diatasnya. Tapi langkahku terhentik mendadak saat
seseorang sedang asyik bercengkrama dengan Dira. Dunia emang sempit banget,
kenapa juga ngelihat Dira lagi ngobrol seru sama Gito. Piring yang berisi nasi
itu kuletakkan di atas meja. Keduanya menoleh
“Bi,
kenalin ini temen SMP gue, Gito” ucap Dira. Rasanya Dira gak sadar kalau aku
juga satu sekolah sama Gito.
“oo, lo
temennya si wonder
women ini , Bi?” tanya Gito panggling
“iya, gue
temennya” jawabku datar
“loh,
kalian udah saling kenal?, dunia sempit banget ya, bisa ketemu dan satu
fakultas disini”
Iya
sempitt banget!
“kita satu
sekolah pas SMA, kelas kita sebelahan, bahkan gue sempet naksir Bintang, tapi
sayangnya dia nolak gue lalu pilih sahabatnya” jelas Gito
“ooooh,
Bintang juga dari SMAN70” Dira mencoba memahami situasi saat ini
Mataku
menyorot tajam ucapan Gito barusan. “gue gak suka sama Gito, karena Gito
brengsek, Dir” ucapku tanpa pikir panjang
“ha?”
tanya Dira tak mengerti, “lo brengsek ngapai, To’. Wah-wah lo ngehamilin anak
orang?” tanya Dira penasaran
“sembarang
bacotnya, tapi hampir sih. Haha” balas Gito tanpa sungkan
Emang
bener ya, kalau lagi ngomong sama kutu kucing kayak gini gak perlu terlalu
dijaga, omongannya sampah semua
“gak lah,
entah nih, Bintang nuduh gue brengsek tanpa bukti. Dosa lo Bintang kayak gitu”
sungut Gito tak terima
“minggir
kita mau makan, sumpek kalau banyak manusia dimeja ini”
Gito
menggeleng-gelengkan kepala, sebelum beranjak pergi dia mengoyak-ngoyak Dira
“gue pergi dulu ya, Won. Ntar singa betina ini ngaung kemana-mana ” pamit Gito
itu pun pendapatkan cubitan kecil dari Dira
“kalau
ngomong ati-ati, ntar kecantol beneran”
Gito
meringis kesakitan “gue udah ditolak sih” Jawab Gito, seperdetik kemudian
tersenyum dan meninggalkan kami. Dahiku mengkerut mendengar panggilan Gito pada
Dira. Won? Wonder Women?. Sedekat apa mereka ? aku jadi penasaran. Untuk
pertama kalinya aku menghabiskan siang dengan Dira, yang awalnya makan siang
berganti menjadi keseruan. Seharusnya aku sudah tiba dirumah tetapi karena
keasyikan obrolan aku jadi lupa. Melirik jam tangan sudah pukul 4 sore.
Akhirnya Dira berpamitan untuk segera mengerjakan pekerjaan paruh waktunya di
restoran.
“gue pergi
dulu ya, mau bareng gak?” ajaknya
“gak usah,
gue mau ke FEB”
Kami
berjalan berlawanan arah, Dira keparkiran motor, sedangkan aku menuju fakultas
Aras. Sengaja aku gak info Aras kalau aku bakalan pulang bareng dia. Karena ini
serba dadakan jadinya aku menunggu di tempat nongkrong anak-anak FEB. Mataku
melihat sekeliling gedung. Semuanya terlihat berbeda meskipun kami berada
kampus yang sama. Untuk FEB , fakultas tersebut lebih terlihat rapi. Didominasi
dengan warna oranye serta fakultas ini lebih luas dari pada tempatku.
Melirik
jam sekali lagi, seharusnya para mahasiswa sudah keluar kelas. Karena aku tak
tahu dimana kelas Aras, aku putuskan untuk menunggunya diparkiran. Setelah
berkeliling mencari mobil Aras, aku menemukannya. Tak berapa lama kemudian aku
melihat Aras berjalan kearah parkiran. Karena saat ini aku ingin
memberikan kejutan, aku bersembunyi dibalik pintu mobil dengan mengendap-endap.
Alih-alih memberi kejutan, Justru aku yang diberinya surprise karena
seseorang yang tak kuharapakan kini ada dan berjalan disampingnya. Siapa lagi
kalau bukan Tia si mak lampir licik yang punya segudang trick untuk dapat
perhatian Aras. Ternyata mereka akan pergi berdua. Jadi ini kesempatan yang aku
kasih disia-siain.
“tolong
pegangin buku ini dong, gue mau ambil ponsel” ucap Tia menyodorkan binder merah
pada Aras
Tanpa
banyak bicara, Aras menurut apa yang diperintahkan Tia. Aku kecewa melihat
pemandangan yang ada didepanku saat ini. Aku menunggu sampai mereka mendekat
kearahku. Ketika Tia sudah duduk di jok mobil disamping kemudi, dan saat Aras
baik di kursi kemudi dan akan menutup pintu mobil aku segera menahannya.
Matanya membola menunjukkan betapa kagetnya dia ketika aku memergoki dirinya
yang kini sedang satu mobil bersama Tia.
“Bintang!!
“mau
kemana? Mau anter dia pulang” ucapku dengan menunjuk Tia yang sedang duduk di
kursi sampingnya.
Komentar
Posting Komentar