Cerpen Tentang Arashi - Konflik


Rasanya gak ada hari tenang saat ini antara aku dan Aras. akhir-akhir ini. Selalu saja ada konflik contohnya saja saat ini. Hubunganku dengan Aras merenggang akhir-akhir ini. Mungkin tak seperti dulu jika aku ada masalah dengannya aku akan mengindar, aku lebih memilih tak menjelaskan kenapa aku berubah acuh padanya. Kali ini, sesuai kesepakatan kami, apapun permasalahannya kami akan bicarakan. Setelah tahu Tia satu kampus dengan kami. Bahkan satu fakultas dengan Aras. Aku menggali informasi lebih. Entah Aras sengaja menutup-tutupi atau memang tak mau tahu, ternyata Tia tak pernah ada rasa dengan Gito. Mereka hanya bertahan 2 bulan. Dan peristiwa di mall beberapa waktu lalu adalah ending dari mereka berdua. Aku sebenarnya tak perduli meski hubungan mereka berakhir, hanya saja foto yang Tia posting dengan Aras meskipun tak tampak wajahnya membuat aku penasaran. 

Dan sialnya lagi Bagas, teman satu angkatan Aras pernah bilang jika Tia kerap sekali memper-memper ke Aras. Sebalku memuncak, Aras sama sekali tak pernah singgung soal Tia didepanku. Berkali-kali aku redam amarahku dengan berpikir positif Aras gak mungkin flirt, dia gak suka sama Tia. Namun, pikiran buruk selalu aja datang kala aku lihat postingan foto itu. Semuanya mengumpul dikepala dan akhirnya pikiran jelekku yang menang. Aras sengaja menutup-nutupi.
Hari ini Aras akan datang kerumah, katanya ada sesuatu yang perlu dijelaskan padaku. Kebetulan sekali aku juga mau sampaikan tentang ini. Semuanya mengusik pikiranku hingga aku tak senang sendiri. Jam 4 sore, Aras sudah mengabariku jika dirinya dalam perjalan kerumah. Kebetulan Bunda dan Ayah sedang ada acara kondangan jadinya aku dirumah sendirian. 

“Assalammualaikum”
“walaikumsalam” balasku yang tak beranjak dari sofa ruang tamu. Ketika kepala kutolehkan kebelakang sudah ada Aras yang masuk kedalam, karena memang sebelumnya aku berpesan untuk masuk saja dan menunggu di ruang tamu.
“sini duduk” aku menepuk tempat duduk sampingku dan bergeser
Aras memberikan senyumnya kemudian duduk disampingku. Kita saling pandang, pandangan Aras kali  ini sama sekali tak membuat aku terkesan dan dia pun paham.
“bunda mana?”
“bunda lagi ada arisan di komplek sebelah, bentar aku ambilin minum mau apa?” tawarku padanya.
“air putih dingin aja”
Aku meletakkan air putih dingin dan kue yang bunda buat tadi pagi diatas meja. Kami terdia sesaat. Lalu Aras menarik nafas panjang terus menghembuskannya pelan-pelan. Memanggil  namaku dengan nada rendah. Aku paham, dia ingin menyelesaikan masalah seminggu belakangan ini. Aku menunggu dia menyelesaikan apa yang terbesit dikepalanya.
“aku mau jelasin sesuatu, soal foto yang kamu ss waktu itu” jelasnya langsung ke inti permasalahan kami
“butuh waktu berhari-hari ya, jelasinnya?” sahutku sinis
“bukannya gitu, kan setelah kamu ngasih tau, aku langsung jelasin tapi kamu nolak itu. Kamu kayak gak mau dengar”
“kamu bohong Aras!, kamu bohong ke aku, itu masalahnya!”
“aku tau aku salah, tapi aku gak maksud bohongin kamu, Bi”
“gak maksud?” aku mengulang apa yang disampaikan Aras, memastikan jika ucapan Aras barusan adalah kesalahan
“aku gak maksud bohongin kamu, kalau aku cerita aku lagi sama dia, kamu pasti salah paham, ya kan?”
“sekarang lihat? Kamu gak cerita apa aku gak salah paham?!!”
“mangkannya itu aku mau jelasin semuanya, aku juga kaget kalau Tia satu angkatan denganku, kemarin dia muncul tiba-tiba dari belakang pas aku sama anak-anak yang lainnya lagi nongkrong di kantin, ku gak tau kalau dia ambil foto itu”
“bukannya kamu bilang dikelas!, kamu juga bohong soal itu?”
“aku dikelas tapi gak lama, karena dosennya cabut setelah ngasih soal. Aku gak ngehampiri kamu soalnya temen-temen minta aku nunggu bentaran dan Tia ada disana waktu itu”
“Ras, dalam sehari itu udah berapa kali kamu bohong. Kamu kayak kebakaran jenggot aku deket sama Gito, tapi kamu sendiri?!!!!”
“Bi, kok marah-marah gini sih, kan aku mau jelasin, aku minta maaf aku salah. Tapi sungguhan aku gak ada maksud kayak gitu” pintanya meraih tanganku, namun aku segera melepas paksa. Masih belum terima aku dengan apa yang baru saja dia jelaskan
Aku menatapnya dengan pandangan sebal “aku gak masalah kalau memang dia satu kelas sama kamu, aku percaya sama kamu, tapi kalau kamu udah bohong kayak gini dan gak jujur. Mana bisa aku percaya sama kamu lagi, Ras. Bukannya kamu bilang kalau kita harus saling terbuka?”
Aras menatap mataku lekat, rasanya cairan bening yang dari tadi tertahan meleleh membasahi pipi. Aku memang cenggeng tak bisa menahan hingga Aras pulang dari sini.
“aku minta maaf, Bintang” ucapnya penuh penyesalan. Wajahnya berubah sendu tak seperti tadi yang masih menyimpan amarah. Cowok itu menunduk, punggung tanganku berkali-kali ia usap. Matanya memandangku sayu. Mungkin dapat dikatakan aku luluh dengan sikapnya yang seperti ini

***
Sejak hari itu, aku minta Aras untuk tak mengusikku tentang Gito, kita sepakat untuk saling percaya. Sulit memang percaya pada orang yang telah membohongi kita dengan cara jitunya. Tapi tetap saja jika dihadapkan dengan perasaan, semuanya itu seolah menjadi angin lalu. Memilih untuk memaafkan dan memberikan kesempatan baru itulah cara yang kami pilih. Aku memberi kesempatan Aras untuk bisa merubah pemikirannya. Tak lagi posesif dan membiarkan aku berteman dengan siapa saja. Untuk masalah Tia dan Gito. Masing-masing dari kami sebisa mungkin menjaga jarak pada manusia aneh itu.
“nanti kamu pulang sendiri apa nunggu aku?” tanya Aras dalam mobil sebelum menurunkanku didepan fakultas
“aku pulang sendiri aja, kamu kan sampek sore. Kelasku Cuma sampek siang daripada gabut mending aku pulang”
“heem” angguknya sembari tangan kanannya mengelus puncak kepalaku.
“belajar yang bener, tolong kondisikan kalau sekarang udah punya pacar!!” tegasku padanya sebelum turun
“siap bos” ucapnya dengan memberi hormat yang kemudian di iringi tawa kami.
Langkahku ringan menuju kelas dilantai 2. Hari ini jadwal kuliah Public Speaking,  beruntungnya dosenku tak sekiller teori komunikasi.
“Bintang” tempukkan kudapat sebelum melangkah masuk kedalam kelas. 
“eh, Dira. Baru pulang kerja?” sapaku pada sesosok yang aku hapal betul selama kuliah disini. Dia hanya mengangguk, matanya terlihat seperti panda. Mungkin dia begadang setelah menyelesaikan pekerjaan paruh waktunya. Aku kagum dengan dia, aku yang saat ini masih bergantung pada orangtua. Sedangkan dia, sudah bisa menghidupi orang tua dan dua adiknya yang sedang sekolah.
“tugas udah selesai dikerjain?” tanyaku.
“udah kok”

Selesai kelas aku dan Dira menuju kantin kampus. Kebetulan hari ini dia Off kerja siang, tapi sore dia harus kembali di restoran. Anehnya satu perkerjaan libur, dia selalu punya kerjaan lainnya “lo gak capek apa, Ra’ kerja mulu?, setiap hari pula kerjanya, gak ada libur”
“kalau  gue merasa capek, keluarga gue gimana?. Haha. Kebetulan gue gak ngerti rasa capek itu definisinya apa yang jelas, gue ngerjain semuanya dengan senang hati kok” balasnya tanpa beban sekalipun.
“mau makan apa?”
“nasi goreng aja”
“tunggu disini aja, biar gue yang pesenin hitung-hitung gue traktir temen baru gue” pintaku padanya ketika dia akan bangkit dari kursi
“haha, oke”
Tak lama setelah itu, aku kembali membawa dua piring nasi goreng  dengan telur mata sapi sebagai penghias diatasnya. Tapi langkahku terhentik mendadak saat seseorang sedang asyik bercengkrama dengan Dira. Dunia emang sempit banget, kenapa juga ngelihat Dira lagi ngobrol seru sama Gito. Piring yang berisi nasi itu kuletakkan di atas meja. Keduanya menoleh
“Bi, kenalin ini temen SMP gue, Gito” ucap Dira. Rasanya Dira gak sadar kalau aku juga satu sekolah sama Gito.
“oo, lo temennya si wonder women  ini , Bi?” tanya Gito panggling
“iya, gue temennya” jawabku datar
“loh, kalian udah saling kenal?, dunia sempit banget ya, bisa ketemu dan satu fakultas disini”
Iya sempitt banget!
“kita satu sekolah pas SMA, kelas kita sebelahan, bahkan gue sempet naksir Bintang, tapi sayangnya dia nolak gue lalu pilih sahabatnya” jelas Gito
“ooooh, Bintang juga dari SMAN70” Dira mencoba memahami situasi saat ini
Mataku menyorot tajam ucapan Gito barusan. “gue gak suka sama Gito, karena Gito brengsek, Dir” ucapku tanpa pikir panjang
“ha?” tanya Dira tak mengerti, “lo brengsek ngapai, To’. Wah-wah lo ngehamilin anak orang?” tanya Dira penasaran
“sembarang bacotnya, tapi hampir sih. Haha”  balas Gito tanpa sungkan
Emang bener ya, kalau lagi ngomong sama kutu kucing kayak gini gak perlu terlalu dijaga, omongannya sampah semua
“gak lah, entah nih, Bintang nuduh gue brengsek tanpa bukti. Dosa lo Bintang kayak gitu” sungut Gito tak terima
“minggir kita mau makan, sumpek kalau banyak manusia dimeja ini”
Gito menggeleng-gelengkan kepala, sebelum beranjak pergi dia mengoyak-ngoyak Dira “gue pergi dulu ya, Won. Ntar singa betina ini ngaung kemana-mana ” pamit Gito itu pun pendapatkan cubitan  kecil dari Dira
“kalau ngomong ati-ati, ntar kecantol beneran”
Gito meringis kesakitan “gue udah ditolak sih” Jawab Gito, seperdetik kemudian tersenyum dan meninggalkan kami. Dahiku mengkerut mendengar panggilan Gito pada Dira. Won? Wonder Women?. Sedekat apa mereka ? aku jadi penasaran. Untuk pertama kalinya aku menghabiskan siang dengan Dira, yang awalnya makan siang berganti menjadi keseruan. Seharusnya aku sudah tiba dirumah tetapi karena keasyikan obrolan aku jadi lupa. Melirik jam tangan sudah pukul 4 sore. Akhirnya Dira berpamitan untuk segera mengerjakan pekerjaan paruh waktunya di restoran.
“gue pergi dulu ya, mau bareng gak?” ajaknya
“gak usah, gue mau ke FEB” 

Kami berjalan berlawanan arah, Dira keparkiran motor, sedangkan aku menuju fakultas Aras. Sengaja aku gak info Aras kalau aku bakalan pulang bareng dia. Karena ini serba dadakan jadinya aku menunggu di tempat nongkrong anak-anak FEB. Mataku melihat sekeliling gedung. Semuanya terlihat berbeda meskipun kami berada kampus yang sama. Untuk FEB , fakultas tersebut lebih terlihat rapi. Didominasi dengan warna oranye serta fakultas ini lebih luas dari pada tempatku.
Melirik jam sekali lagi, seharusnya para mahasiswa sudah keluar kelas. Karena aku tak tahu dimana kelas Aras, aku putuskan untuk menunggunya diparkiran. Setelah berkeliling mencari mobil Aras, aku menemukannya. Tak berapa lama kemudian aku melihat Aras berjalan kearah  parkiran. Karena saat ini aku ingin memberikan kejutan, aku bersembunyi dibalik pintu mobil dengan mengendap-endap. Alih-alih memberi kejutan, Justru aku yang diberinya surprise  karena seseorang yang tak kuharapakan kini ada dan berjalan disampingnya. Siapa lagi kalau bukan Tia si mak lampir licik yang punya segudang trick untuk dapat perhatian Aras. Ternyata mereka akan pergi berdua. Jadi ini kesempatan yang aku kasih disia-siain.
“tolong pegangin buku ini dong, gue mau ambil ponsel” ucap Tia menyodorkan binder merah pada Aras
Tanpa banyak bicara, Aras menurut apa yang diperintahkan Tia. Aku kecewa melihat pemandangan yang ada didepanku saat ini. Aku menunggu sampai mereka mendekat kearahku. Ketika Tia sudah duduk di jok mobil disamping kemudi, dan saat Aras baik di kursi kemudi dan akan menutup pintu mobil aku segera menahannya. Matanya membola menunjukkan betapa kagetnya dia ketika aku memergoki dirinya yang kini sedang satu mobil bersama Tia.
“Bintang!!
“mau kemana? Mau anter dia pulang” ucapku dengan menunjuk Tia yang sedang duduk di kursi sampingnya.


Komentar