Cerpen Tentang Arashi - Official Dating

PS : Part 11 of tentang Arashi. Jadi merekanya di part ini udah resmi. iya resmi ja-di-an 

Aku menunggu dengan was-was di kamar, mondar-mandir dengan perasaan yang campur aduk. Di lantai bawah ada Aras dan Ayah Bunda. Mereka duduk bersama di ruang tamu tanpa melibatkan aku, sudah 1 jam aku menunggu mereka. Sesekali keluar kamar mengintip dari lantai atas meskipun tak mendengar percakapan mereka sama sekali. Berasa kayak anak pingitan. Keberanian Aras yang menghampiri Ayah untuk membahas tentang kami cukup membuat aku kagum. Kupikir apa yang dikatakannya kemarin di camp hanya isapan jempol belaka, atau gak Aras merayu agar aku tenang.  Tapi nyatanya aku salah, Aras benar-benar menemui Ayah bunda dan mengutarakan niatnya untuk melamar eh bukan pacaran. Parahnya lagi, ngomong serius banget sampek aku disuruh Ayah ke kamar dulu.

Berasa kayak nunggu antrian toilet yang super panjang, lagian ini juga pertama kalinya tentu pikiran aneh-aneh bergelayut di benakku. Siapa tau nanti Ayah bunda menolak dan menyuruh aku jauh dari Aras. Berarti aku harus siap dengan konsekuensi itu. Dan aku gak siap kalau harus jauh dari Aras

Handle pintu berputar, aku tertegun di tempat, bertanya-tanya siapa yang masuk ke kamarku ini. Tentu pikiranku bukan Aras, tapi ayah bunda. Aku ingin tau raut wajah mereka setelah bertemu Aras. Syukurlah yang datang itu Bunda terdengar dari suara lembutnya. dengan wajah teduhnya. Bunda menghampirku dengan senyum yang ia kembangkan bak iklan pasta gigi, aku lega melihat senyum itu, entah kabar apa yang disampaikan bunda nantinya. Senyum bunda selalu menjadi penenang terbaik. 

"deg deg an ya.. nunggu bunda sama ayah di bawah" goda bunda.

ku mengangguk dan meminta bunda duduk ditepi ranjang bersamaku. Setelah bunda duduk tepat di sampingku, aku memberondong bunda dengan banyak pertanyaan. Ingin tau hasil pleno dibawah seperti apa 

“Aras sudah pulang? "
"Terus tadi gimana? 
"Dia ngomong apa?"
"respon ayah gimana, Bun?”. Sedangkan bunda hanya tersenyum geli melihat ekspresiku. Tangannya berada disela-sela rambutku, mengelus perlahan rambut pirang yang tergerai lurus sebahu.

“Bundaa.. Bintang tanya nih, jawab dong” tanyaku sekali lagi yang sudah tak sabar

“Bintang, suka sama Aras sejak kapan?”

Deg

Pertanyaan bunda bak sengatan listrik daya rendah, tapi cukup membuat mata terbelalak. Aku langsung diam seperti mainan yang habis batrai  benar-benar diam. Mengetahui sikapku yang berubah jetlag dari panik mendadak bisu bunda terkekeh. Bunda pasti tau kalau aku juga suka dengan Aras, tapi aku binggung harus jawabnya bagaimana, secara yang tanya ini orang tua, bukan teman, orang asing atau pun musuh.

"sejak kapan, Nak?" 

“emm.. Bintang, suka Aras sejak…” ucapaku terputus. Jika aku mengaku suka Aras sejak akhir kelas 2 SMA rasanya aku sudah berhianat pada orang tuaku. Tapi emang bener kan sejak akhir kelas 2, saat itu aku sadar kalau aku tak rela jika Aras menjadi target dari kakak senior, teman seangkatan ataupun dedek-dedek gemes, cause Aras pacar-able banget. Tampan rupawan, pinter, tajir, dari keluarga terhormat dan ketua osis pula sebagai nilai plus. Aras kerap kali menjadi incaran para gadis-gadis yang cukup terkenal di sekolah. Gimana gak sewot Aras dijadikan salah satu cowok most wanted di SMAN 70. Aku cuma ingin Aras hanya fokus padaku bukan yang lainnya. Itu cemburukan namanya? jadi itu mula aku benar-benar merasa jika itu sayang 

 “Sejak naik kelas 3 ya?” cerca bunda spontan melihat aku terlalu lama diam. Seolah tau gerak-gerikku bunda lagi-lagi tersenyum geli. “Bunda ini ibu kamu, jadi bunda tau apa yang anaknya rasain. Tapi bunda nunggu Bintang yang cerita sendiri, tapi Bintang gak juga ngomong” 

Aku hanya menyeringai layaknya anak kecil yang ketahuan kentut sembarang, Malu!! Super sekali bundaku ini, tanpa aku ngomong bunda udah ngerti aja “Bintang awalnya gak sadar kalau Bintang suka sama Aras, Bun. Tapi semakin kesini Bintang jadi yakin kalau Bintang gak mau kehilangan Aras, Bintang gak mau kalau Aras deket sama cewek lain selain Bintang dan gak mau kalau Aras ngasih perhatian ke orang lain kecuali orang tua dan kakak-kakaknya”

Bunda mengela nafas berat, menyisir rambutku dengan tangan halusnya “bunda gak nyangka Bintang sampai segitunya. Aras juga bilang hal yang sama. Bedanya Aras suka kamu sejak kalian di bangku SMA.  Dia pendam rasa itu lebih dari 3 tahun karena takut kehilangan sahabat yang dia suka ya kamu” 

Omongan bunda membuat aku berasa diguyur air es, dingin banget!. Ini bunda lagi bercanda atau gimana. Aku yang udah suka Aras dari setahun lalu aja udah kelimpungan kalau dia deket sama orang lain dan gak bisa bersikap biasa, kok dia bisa tiga tahun tahan rasa sukanya, mungkin Bunda salah. 

“Bunda gak salah?” tanyaku menyakinkan sekali lagi dan hanya di balas anggukan oleh bunda

“Aras gak pernah ngomong soal itu ke Bintang, Bun"

“karena dia tau, Bintang gak kami izinin buat pacaran karena masih terlalu kecil untuk mengenal hal seperti itu. Dan juga Ayah sebenanya gak suka kalian ada hubungan terlalu melebihi sahabat. Tapi karena dia berhasil ngeyakinin Ayah dan bunda kalau dia gak bakalan nyakitin kamu. ayah setuju” Bunda menjelaskan panjang lebar. Tapi intinya dikalimat terakhir bunda ‘ayah setuju!!’.

“Ayah setuju?. Bunda yakin?, ayah ngizinin aku pacaran sama Aras?” senyum sudah tercetak jelas di wajahku.

“kamu harus inget, meskipun begitu kami tetap ngawasi kalian berdua. Kalian sebenarnya masih belum pantas untuk memiliki hubungan seperti itu. Kami takut kalian menjadi anak-anak yang membangkang dan melakukan hal-hal gila yang sekarang sering kejadian pada remaja seusia kalian.”

Aku mengangguk setuju, cukup dalam pesan bunda, meskipun bunda dan ayah ngasih izin buat kami pacaran tetap aja ada perasaan khawatir yang bunda sembunyikan. Jantungku rasanya mau meledak karena di penuhi dengan perasaan bahagia 

“sekarang Arasnya di mana? Masih sama ayah?”

“iya dibawah, kamu mau ketemu sama Aras kan?” tebakkan bunda sekali lagi kubenarkan. Aku segera keluar kamar  dan turun menuju ruang tamu. Di sana masih ada Ayah dan Aras yang berbincang-bincang, sekelebat aku mendengar ayah bertanya universitas mana yang akan Aras pilih, setauku Aras akan pilih UI fakultas Management. Ayah mengangguk senang dengan jawaban Aras. 

 “Bintang” sapa ayah ketika mengetahui aku bergabung dan duduk di sampingnya. Aras menatapku dengan senyum menawannya. Rasanya aku ketagihan dengan senyum itu senyum Aras bikin siapapun gak pengen berpaling dari wajah itu. Mungkin itu juga yang ngebuat para cewek-cewek ngincer Aras. 

 “kamu pasti sudah dengar pesan bunda kan?” tanya ayah menepuk bahuku. Aku mengangguk pelan tak lupa menyunggingkan senyum tulus pada ayah. 

“Ingat, keluar malam tetap hanya sampai jam 9 malam dan itu harus tiba dirumah. Mengerti?!” ucap aja tegas lalu meninggalkan kami. Sempat binggung sih, kan aku gak kemana-mana, jadinya mataku menyorot wajah Aras penuh tanya, dianya cuma mengherdikkan bahu lalu berdiri tepat di atasku.

“ayo!” ajaknya

“lah mau kemana?” ak ngedongak ke wajah Aras yang tekena biasan lampu ruangan. 

“mau ajak kamu ngedate  ke toko buku, kan kapan hari kamu ngambek jadinya ninggalin aku sendiri sama Tia” ajaknya dengan suara lembut. Aku mengingat ulang apa yang baru saja disampaikan. Oh, ya waktu kami ke Gramedia bertiga dengan Tia dan aku memutuskan pulang duluan karena sesak ngeliat Aras yang terus nempel dengan Tia

“males ah, di rumah aja” Aku berpura-pura marah mengingat kejadian hati itu dan membuang muka

“halah ngambeknye jelek tau, udah ah, ayo cepet ganti, waktu kita sampai jam 9 malam, itu artinya tingggal 4 jam lagi” ucapnya memperhatikan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Aku masih tak bergeming dari tempat dudukku.

Aras menjongkokkan tubuhnya hingga meluruh badannya di depanku dan kini posisi kami sejajar. Mengetahui hal itu kepala kumundurkan beberapa inci, sehingga tatapan kami tak lagi sedekat tadi, kini berjarak 10 centi meter. Hampir saja suara jantungku terdengar Aras kalau aku gak buru-buru memutuskan kontak mata dengannya, aku berdehem dan mataku memutar ke arah samping. Tangannya menggenggam tanganku. Senyumnya lagi-lagi tergambar di wajah tampannya. Dari dulu emang senyum Aras selalu menyenengin buat di liat.  “kamu tau gak, kalau waktu itu aku juga ngikutin kamu pulang?”

Aku kaget pas Aras ngomong itu, aku tak percaya kalau Aras mengikutiku, buktinya aku mendarat di rumah dengan taxi. Pasti dia sedang membual dan merasa bersalah karena berdua-duaan dengan si lampir Tia. jangan harap aku terbujuk dengan mulut manisnya.

“kamu kira aku bohong ya, tanya aja bunda kamu. kamu bohong kan kalau kamu di suruh pulang, padahal kan bunda ijinin kamu pulang malem soalnya sama aku dan pamitnya juga beli buku kan?” Aku mengangguk dan mengulum senyum getir di depannya, soal diminta pulang emang akal-akalan aku aja sih biar gak ngeliat Aras sama Tia berdua-duaan. Sebel tau

“kamu pikir aku tega ngebiarin kamu pulang sendiri, aku khawatir tau!!,  tapi pas aku kejar kamunya keburu naik taxi, aku tetap ngikutin taxi kamu sampai rumah. Lalu aku ketemu bunda buat tanya tentang kamu" Aras masih dengan posisinya. Aku kembali menatap manik matanya dalam-dalam seolah aku bisa melihat bayanganku melalui mata indah itu. Aras nampak sungguh-sungguh dengan ucapannya.

“Bintang, aku gak ngerti kenapa kamu terus-terusan kayak gitu, tapi jujur aku senang akhirnya perasaanku gak sebelah tangan. Kamu juga punya rasa di aku, itu yang aku syukuri” Ucap Aras dengan tingkat percaya diri maksimal. Kan aku belum setuju mau jadi pacarnya dan juga tau dari mana kalau aku juga suka sama dia. Aku meliriknya dengan tatapan penasaran

“Kanaya yang ngasih tau” Aku membolakan mataku sekali lagi persis kayak bulan purnama di hari pertama. Berasa malu abis, binggung naruh muka di mana. Kok bisa-bisanya si Kanaya  si bff tersayang  ngomong ke Aras kalau aku suka sama dia. Wah teman macam apa itu gak bisa jaga rahasia sahabatnya. Pokoknya aku marah sama Kanaya. Awas aja kalau ketemu di sekolah “Siapa bilang aku juga suka kamu” nyinyirku 

“sudahlah gak usah jual mahal gitu, ayo dong ganti pakaian ngedate kita terbatas nih” Aras menyuruhku berdiri dan mendorongku untuk kekamar

“iya.. iyaa bentar” Aku meninggalkan Aras diruang tamu dan kembali ke kamar. Ponselku bunyi pertanda chat line masuk

Kanaya

OFFICIAL ??

Bintang

Jadi aku punya musuh dalam selimut nih,

Tiba-tiba ngomong ke doi kalau aku SUKA sama dia

 

Kanaya

hhaha,But I think he have to know about your feeling dear 

Bintang

PENGHIANAT!! BUT I LOVE YOU.

Aku mau KENCAN dulu ya BYE,

 

Kanaya  

Woiwoi, udah ngedate aja berdua dah resmi kan berarti,

awas banyak setan di mana-mana. :D :D 

Okelah  kutunggu PJ-nya

see you next week!

 aku segera bergegas ganti pakaian. Tapi anehnya udah 15 menit mantengin baju yang dilemari tak satupun yang kelihatan cocok di depan cermin. Biasanya juga kalau mau keluar sama Aras juga pakai baju seadanya. Apa ini efek dating ya. Sebuah panggilan telepon datang tentunya aku langsung paham siapa yang telepon meski tanpa melihat dilayar ponsel. Itu Aras karena nada dering yang kupasang untuk kontaknya lagu milik Jason Mraz – Lucky. Yup! Lagu yang pernah dinyanyiin Aras di camp kemarin.

Segera aku mengambil baju asal kemudian keluar kamar. Mataku disambut Aras yang sudah berkaca pinggang lataran lama menunggu aku ganti pakaian. Wajahnya berubah kesal ketika aku menuruni satu persatu anak tangga dan menuju kearahnya “lama amat sih, ganti bajunya. Biasanya yang paling cepet ih.”

 “ya kan harus dandan dulu, Ras. Sabar napa!!” sahutku santai

 “biasanya gak gitu juga” 

"oh jadi biasanya aku gak cantik, gitu maksudnya. Yaudah gak usah pergi aja sekalian” gumamku menghentakkan kaki.  Aku memutar badan dan ingin kembali kekamar namun dicegah Aras.

“ya ampun, Bintang sayang sensi amat sih. Ayo jalan tuan putri. Kamu cantik kok pakai apapun tetap aja cantik yuk ah. Masa’ dihari pertama jadian dan ngadate gini marahan sih, gak asyik ah” Aras tanpa basa basi langsung menggenggam tanganku mengajak ke mobil yang di parkir didepan gerbang rumah. Dia membuka pintu mobil dan mempersilahkan aku duduk, setelah itu dia memutari mobil dan duduk kursi pengemudi. Ahh sosweetnya pacar hari pertamaku ini.

Mobil berjalan meninggalkan pelataran rumah. Aku senyum-senyum sendiri mengingat perlakukan Aras tadi. Sesekali curi-curi pandang kearahnya yang sedang fokus mengemudi. Tak pernah rasanya membayangkan jika aku akan menjadi pacar Aras. Lebih tepatnya kupikir aku hanya akan berakhir dengan kata sa-ha-bat, tapi ternyata aku salah. Tuhan memebrikan kesempatan untuk aku lebih dekat dengan dia dengan cara yang indah. Terimakasih telah mencintaiku dan bersabar menungguku, Arashi , I love you to the moon and back!

Komentar