Cerpen Tentang Arashi - Cemburu Part 1


PS : Part 16 of Tentang Arashi ready to Read. Semoga kalian gak bosen yes. Anyway ini bakalan berseri-seri seperti yang aku bilang diawal. Oke minta supportnya yes.

  

“kay… look! Itu beneran Gito dan Tia kan?” Ucapku tak percaya. Sikuku berkali-kali menyenggol lengan Kanaya. Sialnya, dia sibuk ngelihat diskon baju yang ada di salah satu store. Padahal tu kunti tadi ngegalau kayak orang ditinggal kekasihnya di medan perang. Sekarang jiwa belanjanya balik lagi. Emang dasar sih, ini kunti satu, labil!

“apaan sih” ucapnya kesal. Namun kemudian ekspresinya sama dengan ekspresiku tadi.
“bukannya Tia demennya sama Aras ya?”

Kami sama-sama mematung di tempat. Dan kebetulan mereka yang kami amati menoleh, jadilah adegan mannequin challage. Saling pandang, terdiam dan begitulah seperti yang hal yang pernah hits di Indonesia.

“mending pergi deh” Kanaya mengembalikan baju yang ia ambil kemudian menarikku pergi dari sana.

“Kunti!, mau kemana?” tanyaku heran tapi terus saja mengikuti langkahnya menjauh dari sana.

“kemanapun yang penting gak ketemu mereka. Ntar jadi ribut sendiri kalau kamu ketemu mak lampir laknat itu” Ucap Kanaya ketus.

Aku yang binggung sendiri mulai sadar, kalau Kanaya gak pengen kita ketemu mereka, karena ini ditempat umum, bisa jadi hal-hal yang tidak di inginkan muncul. Aku menghentikan langkah yang membuat Kanaya menoleh keheranan 
“kok berhenti?” tanyanya binggung 

Aku tersenyum senang. Ngelihat tingkah Kanaya yang aneh begitu  “soalnya memang gak harus pergi cuma gara-gara itu doang, denger ya Kay, aku ngerti niatmu baik, kalau Mak Lampir itu pasti setiap ketemu denganku cari gara-gara, kecuali kalau kamu gak mau malu ngeliat aku ribut sama Tia ditempat umum. Haha”

Alhasil, toyoran aku dapat dari Kanaya, lalu kita tertawa seolah ngerti pikiran masing-masing.
"nah itu yang ngebuat aku takut ngebiarin dia ketemu kamu"  

Kami melanjutkan windows shopping-nya. Membeli beberapa aksesoris, yang cukup menarik mata. Setelah 4 jam mengitarai Mall. Kemudian 1,5 jam perjalanan pulang, akhirnya kami kembali kehabitat masing-masing.

Ketika sampai didepan pagar rumah, sudah ada Aras yang bercakap-cakap ria dengan Bunda. Sedangkan Kanaya pamit pulang tanpa mampir karena haris sudah semakin sore, takutnya sampai rumah kemalaman. Dia hanya meninggalkan pesan untuk bunda dan Aras yang ada didepan teras. Mengetahui itu, bunda tersenyum ke Kanaya

“Assalammualaikum” sapaku lalu menyalami tangan bunda

“kamu keluyuran mulu, ih!” tegur bunda dengan menoal hidungku

“ya, kan lama gak ketemu si Kunti, Bun jadi sekalian jalan-jalan, Aras udah lama disini?” Pandanganku beralih ke Aras yang masih setia ngasih senyum pasta giginya.

“lumayan lah, 30 menitan” balasnya dengan menatap jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan. Emang pengen aku ngerasa bersalah kali yaa, ngebuat dia nunggu gitu. “lah kok gak langsung pulang tadi?” tanyaku basa –basi

“lah gak seneng kalau ketemu aku?”

“hahah , gak bercanda, seneng kok. kalau kamu tiap hari kesini aku seneng kok” ucapku menyakinkan Aras yang sudah memanyunkan bibirnya.

“yaudah masuk yuk” ajak bunda pada kami.

“enggak, tante Aras disini aja, abis ini pulang kok”

“yaudah, bunda masuk dulu ya” Bunda pergi ninggalin kami berdua diteras. Tumbenan ni bocah gak mau masuk .

“kenapa gak masuk?” tanyaku penasaran

“sini aja, abis ini pulang kok. Kan cuma mau ketemu kamu”

Lagi-lagi gombalannya Aras bikin aku melting. Jadi binggungkan mau bales apa ceritanya “mulai deh nggegombalnya, bilang aja mau pastikan aku pulang bareng siapa, hayo ngaku” tunjukku ke arah hidungnya

“sembarang, aku percaya sama kamu, kamu mau pulang bareng siapa aja, aku percaya kok kalau yang kamu lihat cuma aku, jadi aku gak perlu khawatir bakalan kehilangan kamu”

Loh.. ini anak kenapa, jadi melow gini. Kok ngomongnya ngelantur yang aneh-aneh. Bener sih aku suka kalau dia percaya, tapi kan aneh dengernya “kok mendadak melow gini sih, ada apa ?”

“gak ada, cuma mau ngomong itu aja, aku pulang ya?” pamitnya kemudian pergi. Aku sempat keheranan mendapati tingkahnya hari ini. Karena aku enggan mengira-ngira, setelah tubuhnya hilang dari pandanganku, aku memasuki rumah dan melangkah ke kamar.

***

Aku kembali ke kelas setelah jam kedua kuliah usai. Hari ini aku tak bersama Aras karena dia ada kelas pagi dan sore, sedangkan jam kuliahku  siang dan sore. Jadi gak sempat bareng dia berangkatnya. But as usually, karena dia ada kelas sore dan akupun juga, jadinya bareng. Gila yak! Punya pacar yang supirable gini jadi  bikin tambah sayang. Kalau nanti pulang bareng, sekalian aja deh ntar ngajak mampir ngajak beli kado buat kado buat Kanaya, soalnya tu kunti, minggu depan ultah. Jadi prepare kadonya lebih baik sekarang ketimbang deket hari, lalu kebentur jadwal dadakan. Kan enak ntar bisa tambah lama sama Aras.

Lamunanku buyar ketika aku bertemu dengan Gito. Manusia satu itu emang gak bisa ngebiarin aku hidup tenang rasanya. Dia sempat menyapaku, namun karena aku malas bertemu dengannya, aku sengaja meghindar dengan berbalik arah.Ditambah dia akan bahas soal soal waktu itu di mall. Mending ngehindar jauh-jauh.

“woi, Bintang!!” 

Sontak teriaknnya, ngeberhentiin langkahku. Dan ngebuat beberapa manusia yang mengamati menoleh. Oke cukup ngebuat malu. Aku memutar tubuh dengan tatapan garang. Gitonya malah tersenyum puas dan ngehampiri tanpa rasa berdosa. Malu njir!!

“apaa?”

“wuidih, galak bener eh ntar pulang bareng yuk. Kan rumah kita searah” pintanya memelas. Oh dasar modus!

“sorry ya, aku udah pacar, yang available buat antar jemput, jadi gak perlu orang lain. Minggir aku mau kekelas”  balasku ketus.

“lah kan gue gak ada niatan antar jemput, gue cuma ajak bareng. Gue bukan gojek kali ya”

Kan ngelunjakkan, resek nih monyet satu. Udah punya pacar juga memper-memper pacar orang. Sebel  jadinya, Oh ya, sudah kukonfirmasi dari orang terpecaya kalau si kutu kucing ini pacaran sama mak lampir. Aku sempat heran sih, tapi bodo amatlah, hidup-hidup dia. “mending tu mulut, diem jangan kebanyakan ngomong sampah nanti busuk, minggir!!” usirku padanya. Biarlah, manusia satu ini gak perlu di sopanin, lihat aja masih ngomong kayak tadi aja resek, mending ngomong nyakitin sekalian

“woi.. woi.. neng kalau ngomong di rem dong. Sembarang!”

“minggir, gak? Aku ada kelas nih”

Gak juga minggir, dengar amat terpaksa setelah meniup poni yang jauh didahi, dan sekilas melempar pandangan sekitar, dan ngasih senyum sengak ke Gito, kaki tuh kutil ayam aku injek. Gak pake ba-bi-bu. Dan dengan muka nahan sakit dia lompat-lompat kesakitan. Sebelum dia bertingkah balik, aku segera mendorongnya kesamping lalu melewatinya tanpa bersalah. Mungkin harus dengan kekerasan nyuruh itu anak minggir.

“awas lo, sakit ogeb!!”

Aku berjalan tanpa menoleh kebelakang, ngedengerin Gito yang berkali-kali ngasih sumpah serapahnya. Salah sendiri gak mau minggir, kan aku ada kelas. Senyumku tak henti-hentinya kegambar di wajah. Inget kejadian tadi

“lu kenapa, Bi?” tanya Dira disampingku. Dira ini temen sekelasku, kita gak deket sih. Cuman sesekali kita makan bareng kayak tadi. Tapi karena dia ada perlu jadinya masuk duluan ke kelas.

“enggak kenapa-kenapa kok, Cuma lagi males aja. Semua matkul hari ini mental dipikiran”

“emang lo punya pikiran ya?”

“suek” Balasanku membuat Dira tekekeh dari balik bukunya. Mata kami kembali fokus dengan Mas Ridwan yang lagi ngejelasin tentang materi public speaking. Dosen kece nan tampan dari jurusan komunikasi. Sayangnya doi udah nikah, tapi ya, udah nikah aja masih banyak yang ngedeketin. Untungnya imannya kuat, gak pernah tergoda dengan hal-hal macam cabe-cabean gitu. Mas Ridwan cukup asyik juga jadi temen diluar kampus. Dia humble dan easy going person. Kenapa dia dipanggil mas sama mahasiswa lain, ya karena mas Ridwan ngerasa dirinya masih muda. Usianya baru 35. Dia gak mau dipanggil bapak kayak dosen lainnya. Selain itu , kita kadang sering ketemu di angkirangan samping kampus dan ngobrol-ngobrol perihal matkul ini.  Orangnya asyik banget ngomongnya gak kaku. Ini nih yang aku suka  dijurusan ini. Orangnya jiwa muda semua.

***

“gue balik dulu, ya Bi” Dira menepuk pundakku begitu kami keluar dari kelas

“oke, mau kerja?” tanyaku dan dibalas dengan anggukan oleh Dira. Perempuan yang satu ini super women banget. Gak ada hari yang gak nganggur dalam kamusnya. Dia freelance event, karyawan paruh waktu di restoran ibu teman SMAnya. Kalau dia gak ada event di pasti langsung ke restoran yang ada di Cikini. Yang aku salut dari Dira ini, dia bisa ngebagi waktu dan kuliah.  Hebatnya lagi, dia bisa masuk jurusan ini lewat jalur prestasi. Keren kan?

“hati-hati yaa..”

Kami berpisah di pintu masuk fakultas, dan tanpa ada angin dan hujan. Seseorang nemplokin tangannya dibahuku. Reflek aku noleh “Gito!!!” . Dianya Cuma mandang cengar-cengir busuknya. Ketika aku mau ngalihin lengannya dari pundakku. Seseorang tiba-tiba muncul dari arah kami.

“Bintang”

“Aras”

Mata kami beradu, dia berdiam diri ngelihat posisiku dan Gito. Dan aku baru sadar, kalau tanganku sedang memegang tangan Gito yang ada di pundak. Tatapan Aras juga aneh, kayak nyimpen marah gitu. Sebelum ada pertumpahan darah aku minta Gito ngejauh, takutnya Aras salah paham. 

“minggir”

Aku langsung berlari menuju Aras, “kamu udah selesai kuliahnya ?” dia hanya membalas anggukan kemudian mengajakku segera menuju mobil.

“Ras, anter beli kado dulu mau?, kan minggu depan Kanaya ulang tahun”

“iya” jawabnya dingin. Wah alamat jealous ini, “ras kamu marah sama aku?’

“enggak, kenapa harus marah?” nadanya masih dingin. Gitu bilang gak marah, duh akuin aja napa. Sok iya banget kalau kayak gini. Jadi senyum-senyum sendiri kan

“kenapa senyum-senyum gitu, inget tadi, iya?”

Lah, si ganteng kok ngomong gitu. Beneran cemburu ya? “kamu cemburu sama Gito?”

“enggak” kan jawabannya beneran tak menyiratkan apa yang dikatakan. ARAS CEMBURU!, iya doi marah gara-gara tadi. Ah, pacarku ini lucu kok. tinggal akui kalau cemburu aja susan nian.

Oke trik pertama, elus-elus tangannya yang lagi nempok di kemudi bulat “Aras, kalau jealous  ngomong aja, aku gak ada apa-apa kok sama Gito, aku aja baru tau kemarin kalau kita satu fakultas”

“Bintang, aku lagi nyetir, gak usah ganggu”

“lah kan aku gak ganggu, cuma elus-elus doang” Rajukku dengan suara manja. Aku masih ngasih senyum terimut yang pernah ada khusus untuk Aras. Bukannya noleh, matanya masih aja fokus ngelihat jalan. Oke gagal!

Trik kedua, setelah tiba di Lippo mall setelah turun aku langsung gandeng tangan Aras. Tapi apalah daya, boro-boro mau ganteng dipegang aja alasannya pegang HP , atau gak setelah itu tangannya dimasukkan jaket. Zonk!

 Kalau jealous kayak wajah Aras kelihatan mainly, kan jadi tambah suka. Karena kedua trik gatot, mungkin trik ketiga akan berhasil. Aku ngeberhentiin langkah, awalnya dia sadar kalau aku sengaja berhenti dibelakang dia. Pas dia noleh, dan ngerasa aku gak disampingnya. “kamu ngapain disana, ayo” ajaknya.

Aku masih tak bergeming dari tempatku. Kali aja dia nyamperin lalu gandeng tanganku untuk tetap jalan. Dan benar kan dugaanku. Dia berjalan kearahku dan tarik tanganku. Berhasilkan cara kayak gini. Kalau gini gantian aku yang marah ceritanya. Haha menang banyak dah.

“Ras”

“hem?”

“kamu kan kemarin bilang, kalau kamu percaya aku, untuk kejadian hari ini, boleh gak aku jelasin itu?” tanyaku menghentikan langkah kami. Aras beralih menghadapku, dia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya.

“gini,  tadi itu salah paham, tadi dia kayak gitu soalnya  sebelum masuk kelas aku sempet buat dia dongkol. Aku injek kakinya karena ngehalangin  aku ketika mau kekelas. Lagian dia udah punya pacar kok, dan kamu tau siapa pacarnya”

Aras hanya mengerdikan bahu seolah tak perduli “Tia!, si mak lampir,”

“aku gak perduli dia pacaran sama siapa, entah itu Tia atau siapapun. Aku pernah bilangkan ke kamu kalau aku gak suka dengan Gito. Aku.. aku… cem. Udahlah, Lagian meskipun dia udah punya pacar gak menutup kemungkinan dia flirt ke kamu, kan?”

“terus kamu ngeraguin aku? Kemarin ucapannya itu apa kabar?” entah kudu seneng apa gimana denger pengakuam dia, tapi yang jelas bukannya itu kata lain dari dia ngeragui aku dong. Kan sedih jadinya, bisa gak kalimatnya itu tata yang bener supaya aku bisa lega.

“bukan begitu, ngelihat kamu ngasih senyum ke dia tadi, aku gak suk”

“siapa bilang aku senyum ke dia, timing-nya aja gak tepat jadi ngebuat kamu anggep aku kayak gitu. Padahal aku marah ke dia. But lets make it clear. Don’t get jealous with a stupid thing like that. And about  Gito, please Aras, he is nothing

Komentar