Cerpen Tentang Arashi - World War!

PS : Baiklah setelah beberapa hari bergelut dengan kesibukkan gak penting, akhirnya bisa lanjut juga cerita tentang Arashi, jadilah ini Part ke-2 . 

“Kenapa, Bi?” Suara Bunda mengagetkanku yang tiba-tiba muncul dari balik tembok dapur

 “oh.. gak apa-apa, Bun. Bintang kekamar dulu ya” Pamitku lalu segera menaiki anak tangga menuju kamar yang ada di lantai dua. Aku merebahkan tubuh ke ranjang yang cukup nyaman untuk digunakan berguling-guling ini. Berkali-kali mendengus sebal dengan Aras yang tak peka dengan perasaanku. Aku benar-benar sudah tekena racun asmaranya. Kenapa Aras selalu saja bahas Tia. Segitu tergila-gilanya ya sama Tia, kudoakan semoga gila beneran. Eh jangan deng ganteng-ganteng gila. Ntar sayang gantengnya mubazir. SDM di Indonesia yang ganteng dan waras limited. Mending dia gilanya karena Aku. Karena dia mencintaiku. Sekenario Bintang yang bagus. 

Bunyi pesan masuk di hpku ini mengganggu sekali.  


Setelah berchat-chat ria dengan Kanaya, Aku sungguh kaget dengan permintaan si kunti satu ini Suek banget itu Kanaya, aku disuruh-suruh jadi jongosnya untuk antar makanan ke pacarnya. Astagaa, untung sayang kalau gak, besok ku pites itu cewek

 “mau kemana, Bi?” tanya Bunda yang sedang menonton drama kesayangannya saat mendengarkan gemuruh langkah kakiku yang tak santai menuruni tangga.

 “Mau kerumah Edo, Bun. Jenguk dia yang lagi sakit” Jawabku sekenannya, lalu melihat menu yang ada di meja makan

 “mau makan?" tanya Bunda sambil berdiri dan berjala menghampiriku

 “Bukan sih Bun, mau bawain makanan buat, si muka Napkin atas perintah Kay, bentar doang kok, Bun” 

 “eh, itu mulutnya sembarangan kalau ngatain, biar bunda yang kemas makananya” Tegur bunda, lalu segera mencari-cari rantang yang ada di rak dapur. Btw bunda ini kenal dengan makhluk lumut yang namanya Edo, karena Kanaya sering bawa Edo kerumah untuk sekedar mengerjalan tugas sekolah

“kamu makan dulu, baru boleh pergi” seperti yang kuperkirakan, Bundanya tak akan mempersilahkan aku pergi tanpa makan terlebih dahulu

“oke” Bintang memberikan jempolnya ke Bunda, lalu mengampil piring dan mengisinya dengan lauk pauk setelah itu menyantapnya.

***

“Assalammualaikum, Do Edo.. Edo.. Do, Edo”  Berkali-kali aku menggedor-gedor pintu Edo tapi tak ada sahutan. Apa Jangan-jangan anak ini, mati. Aduh mampus, aku gak siap ke kantor polisi. Aku melihat sekitar dan jalanan masih sepi hanya ada satu-dua kendaraan yang bersliweran di depan rumah Edo. aku panik sunguh :Do .. Edo, kamu di dalam gak?" tanyaku sekali lagi, takutnya dia tak dirumah, ketika aku cek ternyata pintunya tak tekunci, ketika akan memasuki rumahnya tiba-tiba ada suara yang mengagetkan. 

 “ yaa..” Suara serak itu ternyata Edo. aku menoleh dengan muka sangar melihat kondisi Edo yang acakadul saat itu

 “lu beneran sakit, Do?” Tanyaku tak percaya, FYI aja, Edo ini si mulut cabe, pedes banget kalau sedang keluar ber 3 atau ber 4 dengan Kanaya dan Aras, tapi melihat kondisinya yang pucat aku jadi iba

 “Menurut ngana?” hanya itu yang keluar dari mulut Edo dengan terbatuk-batuk dan raut wajah yang acak-acakan

“oke, nih” aku menyerahkan rantangan kepada Edo dan mengeluarkan ponselnya mencari aplikasi kamera. Memfoto Edo yang benggong di depan pintu dan segera send foto ke Kanaya yang sedang berjuang meleyapkan kegelisahannya bahwa Edo bakalan meninggalkan dirinya selamanya hanya gara-gara sakit batuk . sinting itu anak  (oke ini part terlebay di sini)

“Nyet!, ini apa-apaan woi. Gak lucu!” Edo mulai sewot dengan suara seraknya 

“lu sakit atau gak tetap gak ada bedanya ya, jelek!. Hehe” balasku kemudian membalikkan badan menuju motor lalu ditahan oleh Edo

“Bintang, plis jangan bercanda, gue lagi sakit, kalau mau akting jadi orang cengok. Selamat kamu berhasil” Edo memijat pelipisnya 

“Sialan!!. gue  dapat amandat dari Kanaya, sebenernya gue  males harus kayak gini kurang kerjaan banget tau gak sih. Lebih mending ngemall atau tiduran di kamar. Tapi karena gue adalah sahabat yang baik, tanpa pamrih dan cantiknya kebangetan. Jadilah Kanaya yang minta gue ngasih ini makanan ke elo biar gak mati kelaperan. Nah tugasku udah selesai, foto juga sudah gue send ke yang bersangkutan jadi gue mau pulang” Bintang mengoceh tiada henti. “dan jangan lupa makan!, itu masakan bunda gue punya, jangan sampai ada yang tersisa ye ” pesan terakhirku sebelum menstater motor scoopynya. 

"Thank you, Bi.." ucapnya setengah berteriak, aku menatapnya dari spion lalu melambai padanya

***

Aku kembali kerumah dan langsung menuju kamar. Memeriksa ruang tamu, mungkin bunda sudah tidur siang. Merogoh ponsel yang kuselipkan di tas selempangan yang aku gunakan tadi. memeriksa setiap media sosial yang terinstal, mungkin saja ada pesan masuk dari Aras, tetapi nyatanya nihil hanya Kanaya yang berkali-kali mengirim stiker line yang intinya dia sudah lega jika Edo sudah selamat dari bahaya kelaparan. Helaan nafas yang entah ditujukan untuk siapa ini. Aras ngapain ya? kok gak chat aku ya.

Pagi harinya di sekolah, Bintang berpapasan dengan Arash yang sedang berjalan kearahnya. Sengaja hari ini Bintang tak ingin berangkat bersama. Aras melambaikan tangannya, tetapi bintang memilih belok kelorong menuju perpustakaan dan menyeret Kanaya 

“lah, Bi kok malah kesini, bukannya tadi mau kekantin" tanya Kanaya Heran

“enggak jadi, kan tadi gue bilang pengen belajar dengan sungguh-sungguh jadi harus keperpus” Alihku lalu menarik lengan Kanaya menuju perpus

“Bintang, itu tadi ada Aras dan lo sengaja menghindar. Ada apa ini, roman-romannya bertengkar yes?” Kanaya melipat kedua tangannya di dada dan menyatukan alisnya

“duh bawel!, gue mau BELAJAR, minggu depan UTS ” jawabku sambil celingukkan, sembari sesekali menutup muka dengan buku

“bilangnya belajar, tapi matanya jelalatan di luar perpus. Bintang lo gagal casting! Udah ah. gue laper ayo ke kantin” ajak Kanaya yang kini merampas buku yang kupegang lalu mengajakku keluar perpus

“Bintang” Teriak seseorang yang aku tau itu siapa. Kanaya memberhentikan langkahnya untuk menoleh tapi segera Bintang menariknya dan mempercepat langkah kaki “katanya lapar, ayok ke kantin”

“tapi, tapi... tapi”

“udah ga usah tapi-tapian ayo” 

Entah kenapa, aku malah menghindar dari Aras, padahal aku sendiri yang menyakinkan Aras perihal akan mendapatkan pacar dan tak merepoinya lagi, kan kalau kalau kabur-kaburan gini kesannya kayak gimana gitu tapi bodo lah, sehari ini aja. 

Kelas Biologi selesai yang diakhiri dengan jam pulang sekolah. Aku memeriksa ponsel yang sedari tadi bergetar, tenyata dari Aras yang telp di jam pelajaran. apa di kelasnya lagi gak ada guru kali ya, bisa-bisanya telp di jam kerja. “Yuk.. Bi” Ajak Kanaya yang telah siap sedia menenteng ras ranselnya.  Sebelumnya sudah ku wanti-wanti jika untuk pulang hari ini aku bareng dengannya. Keluar dari pintu gerbang sekolah Sebuah tangan menarik lengan Bintang yang melenggang asyik menuju gerbang

“Bintang” tegur seseorang

“Ehh.. ehh” aku menoleh  dan menyadari jika tangan yang menarikku adalah tangan Aras 

“Apa sih, Ras tarik-tarik sembarang entar kalau aku jatoh gimana, entar kalau tangan aku luka gimana, entar kalau aku pingsan langsung gimana” ucapku berdrama ria 

 “Apaan sih, ngaco bener kalau ngomong”  Aras menyeringai aneh, lalu melepaskan lenganku, "kenapa tadi dipanggil gak noleh" sungut Aras dengan nada kesal

“eh, yang ketarik siapa yang ngomel situ, ada apa!” balasku tak terima "oh tadi aku kamu panggil ya? aku gak denger" 

 “Macan banget sih anak ini” Aras menoel pipiku, eolah tak ada masalah, yang segera kutangkis cepat. Tak lama setelah itu seorang gadis bertubuh jenjang muncul dari balik Aras dan itu Tia. 

 “kenapa, Ras?” tanyanya dengan suara yang sengaja di merdukan tetapi bagiku itu jelas suara kemayu. Memang bener-bener nih bocah udah di bilangi kalau aku lagi gak demen apapun yang berhubungan Tia. eh ini malah muncul di depan mukaku.

 “Bentar, gue ada urusan sama Bintang” Ujar Aras yang juga menggunakan nada ramah. ahh sebel

oke bintang sabar, mak lampir sedang menguji keimananmu,calm down. 

 “Aku gak ada urusan sama kamu, Ras. Yuk Kay” aku memutuskan untuk mengakhiri percakapan dengan Aras. Mataku sudah panas melihat tangan Tia yang melingkar di lengan Aras. 

 “Loh Bintang tunggu--” Segera Aras melangkah namun di cegah Tia Dia pun terlihat mencoba untuk melepaskan tangan Tia dari lengannya 

 “udah ah,  Bintang mau pulang bareng temennya, ayo kita pulang” kata Tia yang terdengar samar di telingaku. Langkahku yang semakin menjauh. genggamanku pun semakin erat di lengan Kanaya

 “sialan.. sialan mak lampir sialan” gerutuku mendecakkan kaki. 

"Iya .. iya sialan, tapi tolong dong ini jangan diremas, sakit tau" Respon Kanaya yang merasa kesakitan ketika tangannya aku jadikan bulanan kekesalanku pada Tia

 “mangkannya, kalau suka Aras itu bilang aja lah, Bi. Gak usah dipendem-pendem gitu. Lihatkan keduluan Tia sekarang” Ujar Kanaya yang malah membuat suasana hati Bintang menjadi lebih buruk

 “Eh.. kunti, udah ditolongin kemarin malah sekarang gini, durhaka nih jadi teman” protesku yang tak terima, jika Kanaya sekarang di tim Tia Aras. Batinku berkecamuk, Pikiranku melayang apakah Aras akan jadian dengan Tia. Aku mendengus kesal tanpa memperdulikan Kanaya yang sedang ngoceh.

***



Komentar