Tentang Arashi

PROLOG

 Aku tak pernah melihatnya berkeluh sekalipun itu di media sosial, dia selalu menyimpannya rapat bahkan padaku, sahabat perempuannya. Dia tak pernah sekalipun terlihat murung meskipun aku tau bahwa ada masa-masa sulit yang harus dia lewati. Aku kagum dengannya, dengan ketegarannya, aku menyukainya, senyum manisnya, Pandangan matanya yang teduh semua yang ada padanya. Dia adalah Aras, nama panjangnya Arashi Putra Handika Soebiyakto. Panjangkan namanya?. Udah pasti iya!. Panggilnya Handika atau Dika. Tapi aku lebih senang panggil dia Aras, sejak dia jadi rebutan cewek-cewek sekolah pas di SMA. I know he is beautiful, more than handsome, tapi ya gak sehisteris itu juga. Mereka lebay nauzubillah, lihat orang bening dikit ganjennya kumat. Intinya aku sebal dan memutuskan panggil dia Aras. Puji syukur juga dia gak complain macam pelanggan yang dikecewaan pihak operator gara-gara kebanyakan troubel. Berasa kayak beli pulsa buat infaq gak dapat apa-apa selain ucapan terima kasih dan pahala. Perkenalkan namaku Bintang Arina Azalea Prasetya, Anak tunggal dari Bapak Prasetya Wibawa. Ini ceritaku yang jatuh cinta pada sahabat sendiri, entah bagaimana akhirnya aku hanya menikmati waktuku dengan Aras saat ini. 

Kami sudah 5 tahun berteman, namun satu tahun belakangan, aku pikir aku menyukainya, aku tak suka ketika dia bercerita tentang teman gadisnya, aku tak suka ketika dia jadi rebutan mbak-embak yang kegatelan lihat dia. Aku tak suka ketika dia mengajakku keluar hanya untuk membelikan teman gadisnya hadiah, mungkin aku cemburu. Entahlah… Aras terlalu sempurna kalau cuma dijadikan sahabat, sesekali kepikiran buat pacarin itu bocah juga tak mengapa, toh Aras always be my side, muehehe. Dia selalu memperlakukan aku special mungkin karena aku teman masa SMPnya atau mungkin dia juga memiliki perasaan yang sama? ah.. entahlah lagi-lagi aku selalu berharap lebih pada laki-laki yang ada di depanku ini.

“Bi…. ini bagus ga?” tanyanya yang membuyarkan lamunan nan gak pentingku tentang dia.

 “Bintang.. kok ngelamun, ini bagus gak?” tanyanya sembari menyodorkan baju warna abu-abu, yang dihiasi manik-manik unyu-unyu. Cocok banget kalau dipakai macem good girl kek aku. Tapi sayangnya bukan untuk aku, tapi untuk gadis yang coba Aras dekati. Sumpah gadis itu pasti ngerasa dapat lotre 10 M kalau uda bisa dapetin perhatian Aras. Se special itu Aras? Absolutely yes!. lalu kenapa aku iya-iya aja saat Aras ngajak temenin buat baju perempuan. Hasssss andai waktu dapat diulang. 

Aras tipikal orang yang kelewat cuek, dia tak suka di perhatikan berlebih oleh orang-orang sekitarnya, padahal tanpa dia melakukan apapun dia selalu mendapatkan perhatian dari para kaum Hawa di sekolah. Tapi anehnya, padaku selalu perhatian  bahkan tanpa kuminta. Kadang, ketika aku sebal dengan sorak sorai para hawa di sekolah yang selalu membicarakan ketampanannya, sengaja tuh aku gelandotan di pundak Aras dengan manja tepat dihadapan mereka. Bagaimana reaksi Aras? tentu dia tak marah, justru malah mengelus kepalaku macam anak kucing. Haha. Lalu gimana reaksi para cewek=cewek di sekolah, tentu saja mereka macam orang mengeluarkan sungut di kepalanya. Kesaaaaal sekali dan itulah kepuasan untukku. OMG aku ghibah. Bodo’ lah. Emang kenyataannya sesembaknya ganjen kalau lihat Aras. Oke back to topic, Aras mengajukan pertanyaan yang sama tentang baju yang sekarang dia putar-putar depan belakangnya.

 “Bagus, Ras. pasti cocok buat Tia” jawabku datar tanpa expresi. Lalu mataku memutar sekeliling rak lainnya tanpa mengamati dengan teliti baju yang sedang ia pegang.

“siapa bilang ini buat Tia, ini buat mama, kan lusa mama ulang tahun” jelas Aras dengan pandangan aneh lalu melanjutkan adegan pilih-pilih baju macam mak-mak yang tau banget selera nak muda jaman sekarang. Padahal Tante Mia sudah tak muda, hanya jiwanya yang muda, gimana gak muda kalau tante Mia demennnya bergaul sama aku, kak Dita, Kak Tyas dan Aras yang notabene masih kinyis-kinyis di dunia yang fana ini. 

“Oh.. Buat tante Mia, sini akika pilihin, kukira untuk Tia, kamu sih gak bilang kalau ngajak belanjanya nyari kado buat tante Mia" Aku langsung antusias memilih-milih baju yang sesuai dengan selera Tante Mia

“Hahaha, jadi kamu gitu kalau soal Tia kamu flat tapi kalau soal mama andus ya” Aras yang kemudian melayangkan jitakkannya di kepalaku, sebenarnya enggak sakit tapi cukuplah buat kepala puyeng. Alhasil auto nyengir But it’s oke! Yang jitak Aras dan terlebih lagi dia ganteng dan aku demen. OMG aku addicted soal Aras

  “sorry..sorry. Terlalu keras ya?” lalu mengelus kepalaku, berasa kayak anak kucing yang disayang sama majikan. Once again, orang ganteng ini tak pernah salah.

“Mending kita pulang aja, kalau kamu pingsan di sini berabe jadinya”  Ajaknya tanpa melanjutkan agenda pilih-pilih bajunya

"tunggu" Pandanganku tertuju pada Baju berwarna Peach bermotif bunga yang lenganya seperti kekelawar, kurasa itu yang cocok untuk tante Mia. Aku hapal sekali selera tante Mia yang tak berbeda jauh denganku, ya 11-12 lah kalau menurutku. Baju itu kemudian kutunjukkan ke Aras, dia hanya menggangguk pasrah yang artinya pilihanku adalah sabda yang tak akan dibantahnya. Setelah mendapat persetujuan kuserahkan baju itu ke mbak-mbak SPG untuk dibungkus. Pandanganku tak berhenti di sana, ada satu baju yang menarik mata  berwarna green tea, Aras melirikku curiga, seperti menandakan -Bintang jangan bilang kamu mau beli baju, sumpah bajumu sudah seabrek -, ya seperti itu sih translate pandangannya 

“Aku Cuma lihat-lihat” Ucapku tiba-tiba.

 Aras hanya mengelus rahangnya yang tak gatal, seolah tau apa yang aku pikirkan. 

“Ras, laper abis ini makan yes. Traktir, okey?” Aku mengedipkan mataku seperti orang kelilipan. Aras hanya tertawa geli dan mengusap wajahku, Sumpah, senyumnya sudah membuat aku tak ingin jauh-jauh darinya. Alamak, kenapa aku terlambat sadar menyukainya

 "Ga usah sok cantik, Bawel. Tapi emang dasar ya, perutmu itu ususnya terlalu panjang makan banyak tapi tetap aja kurus”

 “Itu anugerah dari Tuhan dari Maha Esa, Arashi. Aku doyan makan tapi tak gendut, Apalah dayaku yang hanya hamba sahaya”

 “halah, Bi, udah ayok” Aras yang mengandeng tanganku keluar dari butik lalu menuju café yang tak jauh dari lokasi butik tadi. Aku dibuat cengo dengan gandengan ini. padahal hal ini sudah sering terjadi, Aras menggendong aku jika aku ingin digendong bak kodok, Aras bakalan jadi tameng aku kalau aku sedang dilempar bunda bantal gara-gara bantah omongan bunda. Tapi rasanya gandengan ini yang paling nyaman, serasa aku miliknya dan tak boleh diambil orang. 

 “kamu cemburu sama Tia?” Tanyanya yang membuat aku langsung terbatuk-batuk lebay saat menikmati es doger. 

 “Aku belum jadian kok sama dia, masih tahap PDKT” Aras sengaja menekan kata-kata PDKT di telingaku dan menawarkan tisu.

 Aku meliriknya kesal dengan ucapannya barusan yang menurutku terlalu frontal, “Enggak.. aku gak cemburu, kamu kalau jadian ya jadian aja. Aku mah anaknya woles, Bro” Tanganku mengambil tisu darinya. Padahal batinku mengutuk-ngutuk perempuan itu. Siapa dia yang berani dekatin Arashi-ku.

 “Bo’ong, Tuh mukanya merah kayak kepiting rebus” Aras mendekatiku, mungkin tau kalau wajahku sudah menunjukkan tanda-tanda sebal padanya, maklum lah.. mukaku tak bisa berbohong ketika aku tak suka dengan apa yang dia lakukan  padaku.

 “Bi… aku sama Tia itu cuman temen kok, kalaupun kita deket ya… karena ada perlu OSIS, lagian aku masih belum berniat buat ungkapin perasaanku ini, hahaha”godanya semakin menjadi

 “Bodo amat!” Aku semakin menyungut. Aras hanya tertawa lepas dan mencubit pipiku seolah gemas

 “Kamu lucu Bintang, selalu seperti itu. Udah ah, cepet abisin lalu kita pulang. Mama udah parno dari tadi. Anak gantengnya belum juga pulang, takut nanti di apa-apain sama mbak-mbak SPG” lagi-lagi Aras mengeluarkan senyum manis andalannya, tak pelak sebalku sedikit sirna. 

 Aku udah bilangkan, Aras itu manusia sempurna diabad 21, setelah ayah tentunya. Entah kenapa Aras bisa bertemen dengan dan begitu perhatian padaku. Mungkin juga jodoh. Waktu itu kelas 1 SMP kebetulan aku kelas B dan Aras A, aku yang pulang sekolah dengan sedikit airmata transparan karena uang angkot kepake buat jajan – ini di luar ekspetasi, kukira  sakuku tak ada kendala. Tapi nyatanya uang angkot yang kusematkan di saku raib tak berjejak rasanya bolong deh ini. Dan kondisi saat itu aku dan Aras satu angkot yang kebetulan rumah kita dekat hanya berbeda gang dan kita sama-sama turun di perempatan jalan yang sama. Alhasil Araslah yang bayar sebesar lima ribu perak.

*flashback*

 “Lain kali, gak usah naik angkok kalau gak bawa uang Non” Ucap abang tukang angkot yang kelihatan dongkol lalu tancap gas yang menyisahkan asap knalpot yang super duper hitam seperti kulitnya.

 “Terimakasih” satu kata yang keluar dari mulut ketika abang angkot yang akan lanjut memarahiku untung segera disumpal Aras uang sepuluh ribu perak.

 “You’re welome” sahutnya dengan suara khas oppa-oppa Korea. Aku langsung mendongak kearahnya, lalu tanpa babibu tanya nama dan alamat rumahnya. Siapa tau aku bisa mengganti uang lima ribu peraknya ketika di rumah. Aras hanya bilang tak usah, dia masih segan berbicara banyak denganku. Dia hanya berpesan "lain kali periksa uangmu lagi sebelum naik angkot". lalu jalan lebih dulu dan memasuki gang sebelum gang rumahku, aku sempat melihatnya memasuki  barisan rumah kedua, setelah itu aku melanjutkan perjalanan pulang.

 Setibanya aku di rumah, aku langsung bicara kebunda soal insiden uang angkot dan bunda segera memberi aku uang selembar sepuluh ribu untuk diberikan ke Aras esok harinya. Tapi karena aku bilang Aras tetangga gang, Bunda  meminta aku untuk bertemu dengan Aras. Bersama bunda,  aku pun datang kerumah Aras dengan sepiring kue-kue buatan bunda. Ya, adengan ini seperti mak-mak yang bawa seserahan buat minang anak ala Jawa. Tante Mia dan Bunda pun rasanya cocok jika bertemu sehingga obrolan mereka ngalor ngidul. Yang aku sendiri tak paham apa yang sedang mereka bicarakan. Bahkan segala artis dan anaknya termasuk dalam diskusi. Sungguh aku tak menangkap dari situasi ini. 

Aras yang duduk tak jauh dariku dan bunda, paham dengan situasi. saat itu Dia mengajakku ketaman belakang rumahnya, karena Aras tau mamanya doyan sekali ngomong jika sudah seperti itu. Yang awalnya dia tak banyak bicara, lalu kami saling ngobrol tentang kondisi sekolah.  Mulai dari guru Matematika, peraturan sekolah, Osis yang aku sendiri gak pernah nyambung jika berbicara soal itu. Kami bercerita pajang lebar hingga tiba waktunya 

Semenjak insiden uang bemo, aku dan Aras sering tak sengaja pulang bareng hingga 3 tahun lamanya. Yang mulanya Aras hanya bicara sekedarnya denganku, kini hubungan kami lebih lenggang tanpa canggung. Dia pun lebih dari sering berkunjung kerumahku. Lebih tepatnya, Mama Aras yang datang kerumah bertemu bunda. Di tambah lagi  menurut bunda Aras ini anak yang sopan, pendiam, pintar, dan seterusnya. Mendekati UNAS Aras yang otaknya ecer, tidak sombong, rajin menabung, dan sholeh pun mau menjadi mentorku. Dan dari situlah kita mulai berteman lebih dekat, layaknya sahabat. Kami pun memutuskan untuk masuk sekolah SMA yang sama, oh tidak kuralat, lebih tepatnya karena aku ingin masuk sekolah yang sama dengan Aras. 

Komentar