Cerpen Tentang Arashi - Tak Sepakat

Ps : part 7 of tentang Arashi. mungkin banyak typo ya dimaklumi namanya aja ngetik apa yang muncul di kepala, keburu idenya ilang ya ketik dulu aja seadannya.

Ujian nasional sudah dimulai sejak beberapa hari yang lalu, dan ini hari terakhir sebelum semua kemelut di kepala enyah. Meskipun ujian Nasional dipastikan tidak mempengaruhi kelulusan sekolah. Namun cukup membuat kepala pecah lantaran untuk masuk universitas negri, salah satunya syarat adalah dengan nilai  ujian nasional harus di atas rata-rata. Bahagia yang tertundakan ceritanya kalau kayak gini. Setelah bel ujian selesai. Para siswa berlarian  keluar kelas tentu saja, diiringi dengan helaan nafas lega.

“Haloo” sapa Aras dari balik jendela tempatku duduk. Aku terhentak kaget ketika kepala Aras muncul dari balik kaca, hampir saja aku menimpuknya dengan buku.

 “Sial, kaget tau!!”

“hahaha, sorry-sorry gak lucu ya, “gimana ujian terakhirnya, lancar kan?” 

“hmmm, ya begitulah, berdoa saja semoga ujian ini tak membuatku digantung Ayah bunda”

“haha, ucul nih Bintang, kamu yakin gak tadi ngerjainnya? Jangan-jangan asal-asalan”

“terlambat, Ras” Aku menyeringai, kemudian keluar dari kelas. “oh ya, kamu pulanglah dulu, aku sama Kanaya mau nongkrong sama shopping dulu, mumpung ujian udah kelar” pamerku ke Aras

“ikut dong” rajuk Aras dengan wajah tampannya. Melihat tingkahnya berasa gak tega, tapi ingat Aras tipe seperti apa kalau diajak shopping  "gak ah ini acara untuk kaum Hawa ,Adam dilarang ikut, lo gak boleh ikut". suara seseorang yang tiba-tiba muncul diantara kami, Ya Kanaya yang tiba-tiba merangkul lenganku dan menggeser posisi Aras

“yaudah, aku hang out sama Tia aja” Aras yang akan memutar badannya keburu kutarik

“kok gitu sih, Ras”

“ya habis, kamu gak ngebolehin aku ikut” 

Mendengar jawaban seperti itu aku mendengus kesal. Heran aja, berasa nama Tia itu sekarang jadi kelemahanku.Dan lagi dia mulai rempong selalu mau tau kemana aku pergi dan tentunya dengan siapa. Padahal Aras sebelumnya gak pernah kayak gini. Apa jangan-jangan jiwa Aras sebenarnya tertinggal di suatu tempat. And you know¸sorry for your latest information  kado yang dikasih Aras itu cuma kunci kecil lebih mirip bandul kalung, sayang kalungnya gak ada. Aku juga gak paham apa maksudnya. Itu anak mungkin salah ngasih kado. Pas aku tanya ke doi jawabannya bener kok itu kadonya, kan gak penting banget kan?. Alhasil kado itu cuma nangkring di kotak make up dikamar.

 “kenapa harus ikut sih, ntar kita jalannya muter-muter mall loh, awas aja kalau ngeluh ya, gue bantai lu!" Ancam Kanaya,

Tentu saja belanja kali ini tak akan leluasa ketika hanya kaum hawa yang bergerak. alasannya sudah jelas karena ada Aras. Oh ya, Aras tipikal orang yang gak suka basa-basi, kalau emang suka sama satu benda, mending langsung beli itu ketimbang harus berpindah-pindah toko untuk menemukan barang yang sama, namun pada akhirnya kembali ke toko awal yang dikunjungi. Bayangin dua cewek yang suka se enak jidat coba baju di satu toko dan kalau gak cocok pindah  ke toko lainnya buat nemu yang lebih bagus. Harus tersiksa jika mengajak Aras yang ‘unik’ seperti itu. Kan ini cewek bukan cowok. Nyebelin kan?!

***

“Bintang, pilihan sekolah kamu jadi fokusnya kemana, UI?” tanya Aras saat kami pulang dari Mall. Kanaya sudah pulang lebih dulu dengan transportasi online karena rutenya yang berbeda dari kami. Sedangkan kami juga sedang menunggu taxi online lainnya. 

Aku hanya mengangguk mendengar pertanyaan Aras itu, rasanya dia sudah mendengarkan berkali-kali kampus mana yang akan kutuju. Dan kenapa dia bertanya lagi kali ini. Apa memorinya pendek yaa, gak mungkinlah seorang Aras yang jago diseluruh mata pelajaran tiba-tiba memorinya hanya jangka pendek. Tanpa memikirkan hal yang tak penting lagi, aku senang menatap wajah Aras yang rupawan ini  “kita nanti satu fakultas, semoga kamu gak bosen ya, Ras ketemu aku mulu” 

 "ya gak lah, Bintang masa’ iya aku bosen ketemu kamu” ucapnya yang tiba-tiba mengapit kepalaku

“duh.. apaan sih, Ras. Udah gede woy”  Aras hanya tersenyum renyah, “kamu masih belum paham, kado yang aku kasih, Bi?” , aku menggeleng tak. Bukannya gak mau tahu, tapi ketika aku tanya Aras selalu bilang untuk mencari jawaban itu sendiri, sebalkan jadinya.

“enggak paham, inyong, lagian kamu ditanyai juga jawabanya sama ‘cari jawabannya sendiri” ucapku menirukan gaya bicara Aras yang dibalas dengan cubitan pipi olehnya. Emang ya itu orang gak bisa gitu ngelihat aku seperti gadis lainnya. Apa karena kita terlalu dekat jadi Aras tak sadar ya, jika perlakukanya kadang-kadang ngebuat aku baper tingkat maksimal, kan baper kan. 

Sebuah mobil xenia hitam berhenti di depan kami setelah kucocokan plat nomernya dengan aplikasi online.  Separuh kaca mobil diturunkan dan si driver menanyakan namaku.  Setelah menyebutkan rute yang aku pilih sesuai dengan maps. Mobil melaju tanpa kendala

“oh ya, Ras. Aku mau ngomong serius ni”  Aras yang sebelumnya menatap keluar jendela, kini menghadapkan tubuhnya padaku seolah menunggu ucapanku selanjutnya

“soal Tia” ucapku terhenti sejenak, aku mengatur nafas dengan baik, supaya yang tersulut emosi bahkan hanya menyebutkan namanya “rasanya aku  gak mau ambil pusing lagi, aku tau kamu suka sama dia, jadi kamu bisa deket sama dia. Asal kamu tetap bisa jalan kayak gini sama aku” lanjutku yang setengah sadar telah membuka celah untuk mak lampir mengisi hari-hari Aras.

Ucapanku barusan sukses membuat mata Aras membulat tak percaya. Dia terdiam sejenak, mencoba mengerti maksudku. Aku mencoba membaca raut mukanya, ia ingin berkata jika ini keajaiban dan ingin mengutarakan kalau dia senang. Yah, rasanya merelakan Aras dengan cara seperti ini lebih baik. Tidak! Tidak pernah baik, aku suka Aras, seharusnya itu yang aku katakan padanya. Tuhan otak dan hatiku bersebrangan.

Aras tersenyum mendengarkan ucapanku. Lah dikira ngedongeng kali yaa, 

“Ras” tanyaku menggucang lengannya

“kenapa, Tia ancam kamu?” 

Aku menggeleng, “Dia gak ancam aku kok, Cuma dia resek kalau ketemu aku, heheh gak deng bercanda”  ucapan garing yang sama sekali tak membuat Aras bergeming

“bukan gitu, Ras, aku tau kamu suka sama dia dan gak enak aja kalau gara-gara aku kalian jadi h.. gitulah, Ras. Yang intinya aku males aja ngebuat kenangan buruk di masa terakhir sekolah kita ini” nadaku terdengar pasrah. Setelah menghela nafas panjang dan tersenyum dengan maksud yang aku sendiri tak paham 

“kamu, ada yang di omongin sama aku gak selain ini?" tanyanya yang membuatku sedikit tercekat. aku ingin jujur, tapi takut jika jujur semuanya akan berubah. Iya kalau pernyataan ini diterima, lah kalau ditolak kan hubunganku dan Aras tak akan pernah sama lagi. Aku lebih memilih menggeleng dan mengatakan jika yang ingin aku bahas hanya tentang Tia. 

Aras menggangguk "kita lihat saja nanti, Bi” ucapannya sangat-sangat tak aku pahami. Aku turun lebih dulu, karena memang Rumahku yang lebih dekat. “Bintang” ucapnya menghentikan langkahku saat akan membuka pagar rumah. Aku menoleh sekilas “sorry” ucapnya lirih tapi aku sangat jelas mendengarkannya. Ketika akan ku tanya maksudnya apa, mobil sudah berjalan dan Aras membiarkan aku dengan penuh pertanyaan dikepala, apa maksud ucapannya tadi.

***

Meskipun ujian sekolah telah usai namun, tidak dengan bimbingan belajar. Masih ada kelas sampai batas ujian penerimaan mahasiswa baru di universitas negri. Ah, melelahkannya jika hidup hanya diisi dengan belajar. Tapi, lebih melelahkan lagi jika mengisi hidup dengan kesenangan semata tanpa tujuan hidup yang jelas, begitu kan?

“Cemberut amat, Neng” tanya Mika – teman seperjuangan di tempat bimbel yang membosankan ini

“lagi sakit gigi, Mik” jawab ku asal pada gadis berjilbab merah itu. 

Mood­ ku hari ini tak baik. Pikiranku melayang pada Aras dan Tia, si wanita drakula itu. Aku kebetulan berpapasan di depan gang Aras ketika aku akan berangkat bimbel. Aras benar-benar gercep untuk dekat dengan Tia. Salahku sendiri sok-sokan bilang kalau rela, padahal sampai di rumah aku mengutuk mulutku sendiri setelah mengucapkan kalimat keramat itu.

Ketika aku tanya mereka akan kemana, Tia menatapku dengan pandangan you knowlah,  setan tak suka dengan seseorang yang bercahaya murni seperti diriku. Aras sempat mengajakku namun aku tentu saja menolak, tak ingin kejadian di Gramedia terulang lagi. Ogah jadi obat nyamuk keduanya. Ya aku bilang aja mau les, toh emang beneran mau les. Buktinya sekarang tubuhku berada di  kelas yang dingin ini.

“Bintang, lo sakit, mending ke dokter aja deh, atau mau gue antar pulang” usul Mika, sembari meletakkan tangannya di dahiku  

“Gue oke kok. justru telinga gue sakit kalau lo bawel gini, hehe" Mika mengantupkan bibirnya. Aku merasa bersalah melihat muka masam yang terpancar didepanku saat ini. Mencoba tersenyum meskipun terpaksa “seriously gak kenapa-kenapa, Cuma gak mood aja dengan kelas hari ini”

Mika mengangguk percaya, “oh, ya, Bi. Ini ada titipan dari Brian, taukan dia siapa?” aku menerima paperbag berwarna coklat polos. Brian-cowok setengah bule, bermata biru dengan hidung mancung dan rahang tegas. Doi juga les ditempat yang sama, tapi gak tau kenapa setiap aku ajak ngomong padangannya ke bawah. Mukaku penuh jerawat atau kutil juga enggak. Rada aneh memang itu bocah.  Tapi belakangan roman-romannya dia naksir gitu sama aku. Gak GR sih, Mika yang bilang. Kalau Brian ingin merajut tali silahturahmi denganku. yaelah drama amat!

“thanks” jawabku singkat. Ketika kubuka paperbag coklat dengan pita yang dikatkan di ujungnya, ada sepasang sandal lucu dengan tulisan made in Germany . Konyol banget sih bocah itu, diajak ngomong bawaannya lihat kaki mulu, dideketin ngejauh tiba-tiba eh sekarang malah ngasih hadiah gak langsung ke aku pula, lewat kurir yakni Mika. oh aku tahu mungkin  kalau dia ngomong sama aku dan liat kebawah, mungkin dia mau ukur panjang kakiku kali ya, buktinya ini aku dikasih sandal. hehe 

Setidaknya kado dari Brian ini sukses buat aku cekikikan sendiri melihatnya. Sebuah kertas kecil bertuliskan happy birthday dan ucapan maaf untuk ngasih kado yang sudah lewat dari tanggalnya. Lagi-lagi gak penting but I’m happy for that.

Komentar