Cerpen Tentang Arashi - Tak Peka


PS : ini Part 1, Sequel cerpen yang kemarin yaa -Tentang Arashi-

happy Reading

 Pengumuman kelulusan sebentar lagi. Aku tak sanggup untuk melihat mading pagi ini yang sudah dipenuhi siswa-siswa dari berbagai kelas. Dengan alasan terlalu banyak peristiwa mengharu biru yang akan dipertontonkan. Ada yang kegirangan karena dinyatakan lulus dengan nilai memuaskan, ada yang pasang tampang standart yang intinya dia lulus meskipun nilainya terlalu ngepres untuk bisa masuk SMA favorit. Dan ada yang dibarengi airmata karena namanya tak ada di mading sekolah.

"lebay banget sih"  ucapku melihat tingkah laku tingkah siswa-siswa yang berserakan di depan masing

Tiba-tiba jitakkan muncul dari  belakang, aku menoleh dan itu dari Kanaya "giling ya, cewek apatis ini, ya ini bukan lebay. Ini kelulusan inget KELULUSAN, gila aja sekolah 3 tahun tiba-tiba dinyatakan gak lulus nangis bombay, curut!" sungut Kanaya yang tak terima

Kanaya adalah sahabatku satu-satunya disekolah tercinta ini, selain Aras. Dia ada di setiap momentku dan menjadi tempat sampahku. tiba-tiba dia menarik tanganku untuk mendekati mading yang pada dasarnya aku sudah ogah-ogahan. Kalau kalian tanya apakah aku lulus atau tidak. Tentu aku dengan yakin mengatakan aku lulus. Aku tak bodoh-bodoh amat ketika jadi pelajar . Meskipun otakku kadang bekerja di waktu-waktu tertentu, tetapi untuk masalah belajar bunda dan ayah tak pernah ketinggalan untuk selalu memantau waktu belajar aku di rumah. Anak mereka satu-satunya yang  mereka inginkan menjadi dokter spesialis di masa depan. Tapi selalu ku sanggah karena cita-citaku sebagai public relations. Lalu mereka? tentu tak marah, selagi aku melakukannya dengan senang hati dan tanpa paksaan, apapun cita-citaku akan mereka dukung, meskipun tak menjadi apa yang mereka harapkan. Tentu kebagianku yang menjadi perhatian utama mereka. 

Kanaya membelah kerumunan siswa-siswi lainnya yang sedang histeris didepan mading. Mencari namanya dan namaku. Dan well, apa yang aku katakan menjadi kenyataan, aku dan Kayana lulus meskipun tak termasuk siswa dan siswi 10 besar di sekolah. Lain aku tentu lain juga Arashi. Dia selalu nangkring ditingkat pertama seperti biasanya. Itu yang membuat aku heran, otaknya terlalu encer untuk masalah pelajaran. Tapi bego’ untuk urusan asmara. Ah, biarlah kita masih terlalu kecil untuk membahas tentang kegiatan orang dewasa seperti itu.

"ye.. kita lulus" Kanaya yang berjingkrak-jingkrak di depan mading, dan sukses membuat teman-teman lainnya melirik aneh. Bukan karena apa yang dilihat di mading. Tapi jogetan Kanaya yang super duper norak 

"ehh, kunti. Malu tau! happy boleh. Malu-maluin jangan" kemudian aku segera menyeret Kanaya ketika dia akan melanjutkan joget caesarnya alaynya.

Kami berdua duduk di bangku tak jauh dari lapangan basket. "lanjut sekolah mana, Bi?" Tanya Kanaya, basa basi, yang sebenarnya dia tau akan ingin sekolah dimana

"pengennya satu sekolah sama Aras, tapi kamu tahu sendirikan, Nilai ku aja barang dibuat permen kopiko sebiji gak bisa" jawabku sambil mengoyak-oyak rambut ovalku

 "SMAN 70 itu?, semangat lo pasti bisa, kan gue juga di situ" 

"lu mah bisa, sedikit banyak otak lo dapat bekerja dengan baik, nah gue?." Aku memanyunkan bibir yang ditangkap Kanaya dengan usil

"itu bibirnya gak usah maju-maju, kamu pasti bisa"

"Tengkis ya, Kunti, ini" ucapku sambil menyodorkan satu bungkus es cream yang aku beli kantin 

"eh, kampret, nama gue Kanaya bukan Kunti" Protesnya dan membuka dengan kesal bungkus ice ceam yang kuberikan.

Asal kalian tahu, Kanaya Bestfriend ever yang pernah kumiliki di sekolah. Karena eh karena tak ada yang bisa setegar Kanaya ketika berhadapan denganku yang super cerewet ini. Kanaya termasuk orang yang beruntung berteman denganku. Telinga terlalu tebal, bahkan ketika aku cerewet soal ini itu dia tak pernah marah, hanya saja selalu diawali dengan pertanyaan "udah ngomelnya ? yuk sekarang mau apa?" udah gitu aja. emang Kanaya Best lah. 

"hahah, lagian lo punya rambut panjang amat. kayak mbak kuntilanak kan. bok ya di kuncir kuda atau dikepang biar cantikan gitu"

"ini sudah cantik, buktinya Edo tertarik kan" 

"Yaelah, wajah napkin gitu dibuat bangga ada-ada"

"Sialan, tapi rasanya aku bakalan kangen nih sama bangku yang penuh aib ini" Ucap Kanaya yang mengelus-elus bangku sekolah 

"Kalau lo kangen, colong aja ini bangku"

kami berdua pun tertawa bersama, sambil menatap lapangan basket dengan satu ice cream di masing-masing tangan. Tentu aku akan rindu masa seperti ini. 

Tantangan selanjutnya adalah ujian masuk sekolah favorit. Aku sudah berikrar jika aku akan berusaha untuk masuk SMA yang sama dengan Arashi meskipun itu kulakukan dengan tumpah darah. Oke skip ini bagian terlebay di part ini. Pernah satu kali aku mengajak Arashi untuk satu sekolah denganku di SMA Tunas Bangsa, tapi dia menolak mentah-mentah karena di sana hanya dipenuhi dengan siswa yang hanya bermodal tampang dan dompet tebal. Sedangkan untuk attitude, sekolah itu tak bisa diandalkan. Itu yang dirinya jelaskan padaku. Aku menyerah ketika berdebat tentang sekolah jika dengan Arashi, tentunya alasan Arashi sangat masuk akal, sedangkan pilihanku memutuskan sekolah disana tak lain karena banyak siswa-siswa tampan yang berkeliaran bak bunga di taman.

“lo mau cari ilmu atau cari jodoh” tanya Arashi dengan satu alis terangkat

“Menyelam minum air, Bro. itu pepatah yang ku anut dalam hidup”

“Bi, kepalamu apa perlu ku hantam dengan air es. Eh inget kamu itu masih bocah, masih bayi mikir jodoh. Sekolah aja belum lulus udah mikir jodoh” Aras yang sudah berkobar-kobar berpidato ala Soekarno yang mendeklarasikan kemerdekaan

“halah, Ras. Terus kalau mau satu sekolah sama kamu, aku harus melewati rintangan, badai terjal menghadang. Tak sangkup eike, Ras tak sanggup” aku mendramatisir sambil memegang kerah bajuku

Aras hanya menggeleng-geleng jengah “mulai hari ini, kamu privat lagi denganku, kita bakalan bahas kemungkinan soal yang keluar di tes nanti”

“sumpah? Demi apa, Ras. Kamu mau jadi mentorku lagi. Apa tak bocan jika harus berhadapan denganku yang bolot ini” Godaku dengan tangan genit memukul pelan lengan Aras

 “udah kebal, penting jangan masuk sekolah itu, masuk disekolah yang kamu pengen diawalnya. SATU SEKOLAH DENGAN AKU. TITIK!!”

Usahaku untuk masuk SMA favorit dan satu sekolah dengan Aras pun tak sia-sia. Aku resmi menjadi siswa SMAN 70 dengan dramatisir di detik-detik terakhir penutupan penerimaa siswa secara online. Aku berada di urutan 2 terbawah. Sedangkan nama terakhir adalah Tia. Yap! Gadis yang sedang gencar caper di depan Arashi-ku sekaligus pesaing tersulitku. Apa aku bahagia, tentu, alhamdulillah sekali bisa masuk SMA dengan Aras dan Kanaya. Itu hikmahnya.

*Flashback End*

*** 

Di perjalanan pulang, tiba-tiba Aras membuka obrolan tentang Tia. Aras menceritakan betapa cantik dan baiknya Tia. Telingaku panas mendengar setiap nama Tia disebutkan, tapi aku tak mau merusak suasana hatinya. Aku memandanginya, aku melihat betapa senangnya Aras bercerita tentang polosnya Tia

“Masa’ ya, Bi.. Tia bilang kalau dia ga tau gimana cara bikin desaign gambar buat acara kelulusan nanti, padahal kita uda pernah dapat mata pelajaran desaign, tapi waktu aku tanya lagi, dia bilang Cuma pengen ngobrol sama aku aja, lucu kan, ada-ada akal-akalannya” ceritanya sembari tertawa 

  “itu cewek caper ke kamu Aras. Sudahlah Tia itu ular berbisa” Kataku ketus

“kenapa sih, kalau aku cerita tentang Tia, kamu ketus banget jawabnya. Padahal kalau kamu cerita tentang list cowok yang deket di kamu aku ga pernah komplain aneh-aneh lo Bi” tanya Aras sangat heran

“heloooo, itu beda. Cowok yang kuceritakan kekamu itu emang lucu. Kamu juga akui kalau mereka lucu iya, kan ?”

“ya.. sama dong. Aku cerita Tia juga karena Tia itu lucu”

Aku menghela napas dalam-dalam. Aku yakit cewek caper, sok cantik, dan kegatelan itu sudah meracuni otak Arashi-ku dengan tindakan-tindakannya yang sok polos. Aku mengentakkan kaki tanpa sadar “Oke!” jawabku singkat. 

Anyway, aku dan Aras menggunakan sebutan aku dan kamu sejak pertama kenal. Entah kenapa kami tak merubah dengan sebutan ke lo-gue yang lebih dekat. Entahlah aku nyaman juga dengan sebutan itu. Aras pun demikian, hingga akhirnya sebutan itu berlaku sampai saat ini tanpa bantahan. 

“loh, kenapa, Bi? Ada yang salah, oke apa juga. Gak jelas nih” 

 “oh.. Oke,  kamu mau cerita Tia kan? Oke!jawabku itu, aku diam aja. Monggo kalau mau terus cerita. Telingaku available kok.”

“kok gitu sih jawabnya, Bi”

“Duh! Salah lagi udah ah. Matanya fokus lihat jalan sana, ntar nabrak lagi” senyum palsuku kearahnya.

 “apa sih, Ras yang menarik dari Tia?” kuberanikan tanya pada Aras dengan padangan penuh tanya

“kalau di fikir-fikir, Tia itu lucu, iyaa… dia lucu, baik, manis, cantik, dia itu bisa bikin aku ketawa” jawabnya singkat dan menyunggingkan senyum tanpa ragu 

Jendela mobil ku buka, berasa sesak hingga kehabisan nafas mendengar jawaban Aras tentang Tia. Apa aku tak selucu, secantik dan sepintar Tia, pikiranku mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri. Kenapa pula aku lambat menyadari kalau aku suka dia.

“tumben kamu tanya tentang Tia, biasanya ga mau tau kalau aku cerita tentang Tia” rasa penasaran sedikit mengusik hati Aras

“karena kamu terlalu sering bahas dia, Ras, aku cuma pengen tau aja, apa  yang menarik dari dia sampai kamu seperti ini. Sebelumnya, kalau ada cewek lagi ngedeketin kamu, kamu ngehindar tapi kali ini beda” berat rasanya berkata demikian tapi ini memang terjadi, sebelumnya Aras memang hampir tak pernah menghiraukan  perempuan yang mendekatinya.

“iya.. ya” jawabnya singkat membenarkan ucapanku. “habis, Tia beda sih.. dia bisa gitu buat aku kepikiran tentang dia, sama kaya kamu , Bi “ Aras mengembangkan senyum tanpa rem, berasa melihat orang gila dadakan yang lagi setir mobil.

“sama kaya aku?” sahutku pelan, lalu menatap jalan raya. Jawaban Aras sedikit membingungkan, kalau sama sepertiku, kenapa Aras tak pernah menyatakan sukanya padaku.

“iya.. kamu selalu bikin aku tak pernah tenang dengan kelakuan kamu itu, selalu bikin orang kepikiran dengan kejahilanmu” Jawabnya yakin tanpa menoleh

Mobil berdecit di depan rumah, aku segera turun dari mobil Aras dan langsung membanting pintu mobil. Aku segera menuju pekarangan rumah, tapi sebelum itu, aku kembali lagi kemobil melihat Aras yang melongo dengan tingkahku 

“basi banget sih, Ras omongamu, jadi kamu ngerasa kalau kamu berkewajiban mikirin aku. Gak usah repot-repot,Nyet!” Ucapku berapi-api. 

Aku mempercepat langkah, aku sempat menilik Aras yang buru-buru turun dari mobil yang kemudian memegang lenganku. Aku mengentakkan tangan Aras “gak usah pegang-pegang”

“oke-oke” tangan Aras melepas “jangan marah dong, itu bercanda kok. Gak maksud ngomong gitu Bintang cantik. Jangan ngambek gini ah, ntar imutnya ilang” Rajuknya dengan nada lembut

Aku melihatnya dengan tatapan sinis, tangan sengaja aku lipat di dada. Dia masih memohon permintaan maaf dengan kedua tangannya seolah merasa bersalah. 

Aku menarik nafas dalam-dalam  “gak usa khawatir, aku bakalan nyari cowok beneran kali ini, kamu fokus aja ke Tia, ya uda, bye.. ati-ati di jalan ya…”  lalu aku menepuk pundaknya dan segera menuju kedalam rumah. Sedangkan Aras mematung di pekarangan,  Mengintip dari tirai ruang tamu, aku melihat Aras kembali ke mobilnya dan pergi dari pandanganku. 

Komentar