Cerpen Tentang Arashi - Janji

Ps : Part 5 of Tentang Arashi 

 Kali ini aku benar-benar marah sama Aras. Dia bilang aku childish  dengan lantangnya di depan umum pula. Ya meskipun tak ada yang mendengar, tapi cukup nyelekit di hati. Sampai di depan kelas, mataku mencari sesosok makhluk yang bernama Kanaya. Sayangnya dia tak ada mungkin ke toilet. Aku membanting tas di atas meja. Pandanganku terarah ke jendela, melihat para siswa yang perlahan-lahan memasuki kelasnya masing-masing.

 “dorr” suara melengking yang langsung membuatku menoleh kilat

“sialan, jantungan mendadak kunti!!”

“abisnya lo ngelamun, emang ngelamunin apa sih pagi-pagi. Bete’ aja itu muka, kan gak cantik. Udah gak cantik malah gak cantik loh”  Kanaya terkekeh melihat expresiku yang cemberut

 “apaan sih” niatnya mau cerita, tapi berhubung uda gak mood jadi simpan di hati aja. Palingan kalau Kanaya peka langsung tanya ada apa

“kenapa, tengkar lagi sama Aras?”

 Binggo!. 

Kanaya emang sahabat yang pengertian. Hampir aja mau mangap jelasin semua. Tapi pak Tri sudah masuk aja ngasih kuis bahasa Inggris. Gak asik banget tu orang. Beruntung hari ini bahasa Inggris jadi bisa dikerjakan sambil merem. Ya maklumlah, meskipun nilai lainnya kayak bakar jagung apalagi tentang Fisika, Biologi dan Kimia, tapi tidak untuk bahasa Inggris. Ayah sama bunda kan rajin tuh ngajarin bahasa Inggris, ditambah kursus sejak TK. Rugi dong kalau sekarang ujian nilainya minimum. kalau bisa dapat nilai lebih dari seratus. 

Lega, selesai kuis untuk siswa  yang sudah selesai, diminta untuk keluar kelas seperti biasa. Tak lama setelah itu Kanaya menyusul. kami pun melangkah ke kantin. Setelah memesan seporsi bakso dan pangsit di Mbak Pur dan dua gelas es teh di Pak Darso, Kanaya  kembali menodongku dengan banyak pertanyaan seputar Aras.

“jadi marahan sama Aras lagi?’’ tanyanya lirih, mengendap-endap "penyebabnya apa?". Ini nih yang aku demen. Temen model kayak gini. Kadang bisa jadi saudara, musuh, sahabat. Aku mengangguk lemah membenarkan tebakan Kanaya

 “alasannya apa? Tia lagi ?”

Sekali lagi aku mengangguk “Aras bilang kalau gue childish, alasannya karena gue ngambek gak jelas mulu ”

Kanaya mentoyor kepalaku tiba-tiba “itu sih bukan karena Tia, itu kamu sendiri yang bikin ulah” 

Lah kuntinya ngomongnya kok gitu. Kan baru aja dipuji “ya enggak dong, kenapa gara-gara gue.  gue baik-baik aja sebelumnya, ada Tia aja jadi drama banget gini”

“ya.. gimana Aras gak gedek sama sifat lo, Bi. kayak bunglon gitu dikit-dikit ngambek, marah, ngilang gak jelas. Aras kan binggung harus ngapain, kan dia gak tau perasaan lo ke dia. Coba dong bilang kalau lo suka -jangan deket-deket Tia, gue cemburu- gitu dong.  Mungkin dia bakalan ngeh sama kelakuan lo kenapa kok macam gini”

Aku mengerucutkan bibirku. Saran Kanaya memang mantul, tapi terlalu gengsi jika cewek yang ngomong lebih dulu. Aras selama ini anggap aku sahabat masa iya, kudu bilang ke dia kalau aku suka sama dia. Yang ada perhatianku kedia diartikan cuma sebagai seorang sa-ha-bat- that’s it.

Tiba-tiba perempuan tinggi rambut panjang muncul tanpa aba-aba di depanku. Bakso dan pangsit yang baru datang belum kejamah sempurna. Sudah harus ditinggalkan. Udah ada setan didepanku. Ya siapa lagi kalau bukan Tia. Datang tanpa diundang kayak jailangkung, gebrak meja sok-sok jagoan an ngomong tanpa adat pula.

 “gue mau ngomong sama lo” ucapnya ketus, kemudian memalingkan pandangannya ke lapangan basket. Aku dan Kanaya saling pandang, aku menghangkat bahu dan menyuruh Kanaya untuk menghabiskan pangsitnya “eh.. pirang denger gak aku ngomong” umumnya.dengan suara lantang, alhamsil membuat kanan kiri siswa yang makan menoleh kearahku

Aku berdiri menatapnya tajam setajam sile ala-ala fenie rose gitulah “eh lampir, lo ngomong sama sicantik ini?”

"tolong deh cari  ngulang pelajaran PKN sono! Ngomong kayak gak punya adab” batas sabarku udah limit, Kanaya yang tadi duduk disamping mencoba untuk menenangkan

"Udah, Bi malu ahh ini di tempat umum"

“gak usah basa-basi, gue bakalan ngomong ke Aras kalau gue suka sama dia. Dan gue bakalan minta dia buat jauhin lo, ngerti!. Ada lo di sampingnya buat mata gue sepet, gak bebas dasar benalu”

Asyu ini cewek satu. Berani-beraninya ngomong gitu ke aku, jelas-jelas kemana-mana cantikan aku. Siaal

 “eh,, kalau ngomong itu tolong dikunyah. Siapa elu nyuruh-nyuruh Aras buat jauh, gak akan bisa. Pergi sana, panas dalam nih kalau ada mak lampir di sini” aku kembali duduk disamping Kanaya, dan melanjutkan memakan bakso yang isinya 5 biji itu.

surrr .. Es teh di depan Kanaya, Tia tuang dikepalaku “nih mandi sama yang dingin-dingin”

Seluruh penghuni kantin sontak kaget ada tontonan gratis saat. Kanaya yang sedari tadi duduk  kini berdiri dan mendorong Tia hingga dia mundur beberapa langkah “ehh lampir, kelakukan lo kayak dajjal tau gak?"

"Apa lo, dasar miskin, sekolah ini gak pantes terima murid macem lo,gak usah ikut-ikut!" Cercanya pada Kanaya ganas

Mataku memerah menahan malu sekaligus marah semuanya beradu menjadi satu. Udah kepalang basah gak bisa mundur lagi. Aku berdiri dan menghampiri Tia tanganku langsung aja menjambak rambut yang selalu ia kibas-kibaskan layaknya rambut kuda. Untung aja gak kusiram sama kuah bakso, dijambak itu masih mending. Dia meronta kesakitan dengan membalas menarik rambutku. Tapi karena aku lebih kuat  dia kalah. Berasa kayak anak TK gitu tarik menarik rambut. Aku duduk di perutnya. Kanaya segera menyeretku untuk menjauh begitu pula dengan geng Tia sebelum guru BP datang. Semuanya melerai tapi lainnya sorak-sorak bergembira gitu berasa ada sirkus gratis.

“Bintang!!!” teriak seseorang dari sampingku. Dan berasa semuanya berasa kepause beberapa saat, aku dan mak lampir menoleh kesumber suara  itu , mata ku membola itu Aras.

“kamu apa-apaan kayak gini” teriaknya lalu membantu Tia berdiri. kan aku yang ngelihatnya syedih, kok Aras kayak gitu ke aku. Bukan aku yang ditolong. Terus ngelihat sekilas Tia yang ngasih tunjuk senyum sinis. Dasar lampir laknat, enyah sana dari muka bumi

“lo gak apa-apa” Tanya Aras dengan nada khawatir pada si Mak lampir .

“dia-” Mataku berkaca-kaca, Kanaya masih setia menahan tanganku. Aras melirik Kanaya seolah memberi kode untuk membawaku pergi ke UKS dan mendapat sambutan anggukan dari Kanaya.

Kanaya mendorongku pergi menuju UKS, langkahku mengikuti tuntunan Kanaya. Airmataku mengalir mengingat perlakukan Aras barusan. Bukannya bantu  aku tapi ke Tia. Tiba di UKS aku sesunggukkan di lengan Kanaya. Sedangkan tangannya kirinya hanya menepuk pelan pundakku dan mengulang kata sabar

“gue ambilin baju ganti dulu, siapa tau di sini ada” pamitnya. Kanaya meninggalkan aku terduduk di tepi ranjang UKS, gak ada yang luka sampek berdarah-darah gitu sih. Tapi kenyataannya sakit banget kalau keinget tadi.

“nih, Bi. Ada baju olahraga ukuran yang M rasanya muat ke lo, pakai ini gih”. Aku segera ketoilet mengguyur tubuhku dan berganti pakaian.

Begitu aku keluar dari toilet, Aras menghadangku. Mata ku masih sembab, tapi ketika menatap Aras, aku melihat mata bulan sabitnya mendominasi, seolah banyak pertanyaan “mengapa” yang akan keluar dari mulutnya. 

“berhenti lihat aku kayak gitu, mending kamu pergi” usirku. Tapi Aras malah gak pergi, dia malah narik aku ke Lab IPA. Kenapa lagi manusia satu ini, Bukannya tadi dia ada di pihak lampir. Gedek aku lihat wajahnya hari ini “kamu itu kenapa sih sebenarnya?” tanyanya khawatir

Aku masih terdiam, berhubung masih kesel, aku gak mau natap mata horor Aras itu, takut juga coy. jadi keinget adegan jambak-jambakan tadi.

“Bintang, kamu ada apa sama dia. Kamu bener-bener kayak anak kecil ya ?”

Airmata luluh lagi denger omongan kayak gitu. dia mengulang kata yang sangat aku benci.  Setelah mengambil nafas panjang aku mulai jelasin semuanya ke Aras tanpa kelewatan satu bagian pun. Termasuk niatan mau guyur mukanya pakek kuah bakso tapi gak jadi, ya karena apa karena aku masih punya nurani gak mau ngerusak wajah rubahnya itu

“udah jelas, sekarang menurut kamu, aku yang salah, hah!!?” Suaraku terisak memenuhi ruangan yang kosong namun nampak menyeramkan itu. Butiran bening tumpah di pipi, penampilanku hari ini di depan Aras sepertinya kacau. rambut lepek, baju agak kegedean, ditambah Aras yang se enak jidat judge kayak gini. Perasaanku capek.

Aras terdiam, gak bisa bales omonganku. Mungkin ngerasa bersalah. I don’t know, dia tertunduk ngeliatin tali sepatunya, padahal itu tali gak lepas. posisinya kini persis kayak siswa yang kena hukum guru BP depan kelas.

“udah gak ada yang perlu dijelaskan lagi kan?, aku mau balik ke kelas” Mataku sudah sayu. 

“tapi gak gitu juga, Bi. Tengkar di tempat umum hanya gara-gara itu” Langkahku berhenti. HANYA GARA-GARA. Wah rasanya Aras juga perlu di beri pelajaran kalau begitu. Gak tau apa aku ini gak bisa jauh-jauh dari dia. Udah cinta ini mah. Eh dianya malah git, somplak abis manusia itu

“terus aku harus gimana, nanggepi dia. Aku ga mau kamu jauh-jauh dari aku, NGERTI!!” Ops keceplosakan kalau ngomong gini. Bodo amatlah, Arasnya nyebelin. Aras narik lenganku buat gak jalan keluar kelas. Lagi-lagi mata horornya menyelinap di keheningan kelas itu tapi tiba-tiba luluh menjadi bulan purnama “kamu gak bakalan kehilangan aku, Bi”

Maksudnya apa nih orang, ambigu banget. “kamu jangan tengkar kayak gitu lagi ya..” pintanya. Yang kemudian menarikku berhadapan dengannya. Deng deng Aras peluk aku, kedengaran banget detak jantungnya kenceng kayak habis maraton, tangannya menyentuh rambutku yang masih lepek. “intinya, kamu gak bakalan kehilangan aku, oke. Last time I said don’t be childish

 Aku mendorong Aras jauh-jauh. Duh ya bahas itu lagi. Tau gak sih kalau aku gak childish – childish banget. “don’t call me like that, I hate it” ucapku memalingkan muka tak lupa duck face

 “oke-oke, sorry. Aku minta maaf, aku gak tau kenapa kamu akhir-akhir kenapa kamu sering bertingkah. Tapi yang jelas gak ada yang bakalan ngebuat aku jauh sama kamu. Aku janji ”ucapnya menyuguhkan jari kelingking.

Aku menatap raut mukanya. Hah ucul banget sih kalau kayak gini. Memelas banget mukanya. Udah ganteng, pinter, rajin ibadah, sayang sama orang tua. Kan tipe idaman. aku mengikat jari kelingkingnya dengan jadi kelingkingku seolah mengulang janji. 

"Aras gak bakalan jauhin Bintang, apapun itu” 

“Janji!”

Kami sama-sama tertawa, Aras memeluk pundakku. Mengajakku kembali masuk kelas. mengantarku hingga kursi. “ntar pulangnya bareng aku ya, jangan pulang dulu” pesannya aku mengangguk. Aras mengacak-acak kepala rambutku kemudian pergi.

Kanaya yang ada di sampingku hanya tersenyum sendiri “ecie baikkan” godanya.

Blush, berkali-kali aku menyeringai, hanya menatap kepergian Aras yang menghilang di balik tembok kelas. Hari ini tak seburuk beberapa hari yang lalu. meskipun Aras masih belum tau bagaimana sebenarnya perasaanku itu tak masalah. Setidaknya dia sudah berjanji bakalan selalu di sampingku apapun keadaannya, Rasa seperti itu cukup kan?.

Komentar