Kamu Tak Perlu Khawatir

Teruntuk temanku yang sedang kenyang dengan perasaan kasmaran.

Pagi itu, kau menanyakan apakah aku jadi datang kerumahmu. Untuk sekedar bertemu, bertatap wajah dengan anggota rumah yang semakin hari semakin menua. Maklum saja, Jarak dan kesibukan kita mulai menjadi perkara utama jarangnya bersua. Mimpi yang tinggi sudah menjadi prioritas dan memaksa kita untuk tak sering berjabat. Dulu kita berikrar untuk selalu ada bahkan ditengah kesibukkan yang membabi buta. Kini, waktu membuktikan bahwa janji kita tak cukup kuat untuk melebur temu. Masih menangkan ego untuk bekerja disepanjang waktu.

Pada temanku itu, untuk sekedar basa-basi aku menanyakan bagaimana perasaannya tentang lelaki baru yang akan dikenalkan padaku. Aku sengaja tak bertanya bagaimana kabarnya. Sebab, aku tau dari cara menjawab pesan. Dia dalam kondisi baik teramat baik untuk tetap bergurau walau hanya dalam pesan singkat. Pembicaraan mulai mengarah mengenai siapa Dia- Calon lelaki sering dibicarakan. 

Dia, Pria yang saat ini menjadi serba utama dalam ceritanya. Mampu menjadi alasan dirinya tersenyum ringan. Membuang semua keputusasaan tentang segela perasaan, takut ditinggalkan contohnya. Disela-sela cerita, terbesit di benaknya sedikit kekhawatiran perihal masa depan. Bukan lagi dengan siapa dia akan berpasangan, karena kita sama-sama tau ada seseorang yang rela menjadi tempatnya berlabuh untuk menghalalkan rindu. Melainkan, bagaimana kehidupan setelah pernikahan. Apakah kesejahteraan mampu diwujudkan berdua, begitu pikirnya. 

Untuk temanku, aku cukup terhibur dengan tingkahmu. Namun tak mengurangi perduliku pada kekhawatiranmu. Cermatilah kamu yang saat ini sedang berbunga-bunga pun disatu waktu didera gelisah. Tak salah jika kau takut melangkah maju untuk menjemput bahagia. Karena semuanya akan mengubah hidupmu dari ujung rambut sampai ujung kuku. Pada kekasih halalmu, dia yang akan mengambil alih kewajiban orang tua merawatmu. Kepadanya pun kau menyerahkan sisa hidupmu. Tentu, Ada beban yang kau ambil alih kemudian. Statusmu bukan lagi kekasih, tapi istri yang penuh abdi. 

Temanku, sekedar bersaran. Aku bersyukur jika kau pertimbangkan. Bila tak kau gubris pun tak akan menjadi beban pikiranku karena ini hanya sebuah masukkan. Aku memang belum berumah tangga. Itu juga impianku dikemudian hari yang kupanjatkan disegala doa. Temanku, untukmu aku sarankan kau maju. Menerima pinangan dari Dia yang mungkin saja menjadi ‘Tulang Rusukmu’. Barang kali Dia jawaban dari kekhusukanmu berdoa. Aku salut dengan tindakkan Dia. Berani melangkah bahkan hanya bermodal diri apa adanya, untuk meminang dirimu yang bahkan baru Dia tau beberapa waktu yang lalu. Bukankah keseriusannya sudah mampu meluluhkan hatimu ?. Bukankah, kesabarannya sudah kau uji dengan kekanak-kanakanmu. Dan cintanya sudah kau tahlukkan dengan hatimu.

 Untuk temanku, Tidak perlu kau khawatir. Sebab, dia sudah memikirkan masak-masak apa yang harus dilakukan jika kau sudah menjadi bagian dari tanggung jawabnya. apabila dikemudian hari ada duka yang harus dilalui. Menguji seberapa kuat kerja keras kalian membangun 'rumah' yang selalu menjadi arah kamu pulang. Nikmatilah, itu ujian untuk kalian berdua, bukan kamu ataupun dia secara terpisah.  Untuk bahagiamu, Aku mendukung Dia sepenuhnya.

 Dari aku, yang turut bahagia atas kabarmu. 

Komentar