Cara Terbaik Adalah Dengan Kita Tidak Bersama


Aku masih memikirkan bagaimana kita mulai sepakat untuk meleburkan perbedaan. Menyatukan hati yang berantakan dari masa kelam. Bagiku, cukup kamu yang saat ini ada didepanku yang akan kupandang. Kau potongan dari ceritaku yang sempat hilang dimakan waktu. Aku harap begitu juga aku bagimu. Hanya ada aku yang akan kau pandang meskipun banyak yang berkeliaran. Mulanya, kita baik-baik saja saling menerima apa adanya diri kita. Lengkap dengan sifat bahkan kebiasaan yang tak seharusnya kita lakukan. Mampu berikrar berubah perlahan-lahan demi kita untuk saling menemukan kenyamanan.

 Aku mencintaimu, itu yang ku tekankan pada otak dan hatiku. Meskipun tak sebanyak pada seseorang yang dulu. Orang yang kupercaya lebih dari ratusan persen namun diakhirnya memilih untuk meninggalkan tanpa pemberitahuan. Kini, setidaknya aku mulai membuka hati, tak menutup diri dan memberikan kesempatan pada seseorang yang berusaha membahagiakanku. Aku jatuhkan pilihan itu padamu, seseorang yang menjadi tambatan hati baru yang akan menghilangkan sedhku.

 Sebulan bersama, kita masih menjadi pribadi yang asyik, saling mengingatkan, memberi kabar dan saling tukar pikiran tentang apapun yang kita alami untuk menghabiskan hari. Semata-mata akan selalu ada bahasan yang tak terlewakan karena kita tak bertemu. Mungkin karena kita berpegang teguh bahwa segalanya apabila perlu dibicarakan, akan kita bicarakan. Aku mulai menaruh hati pada upayamu menyakinku. Mampu membuat diriku melupakan masa lalu. Tak perduli cibiran yang kadang aku terima bahkan dari orang-orang terdekatku, tentang gaya bicara ataupun penampilanmu. Aku sama sekali tak perduli. Aku mampu berdamai dengan ocahan itu, setidaknya aku tak terpengaruh.

 Dua bulan selanjutnya, ketika kita mulai memilah-milah mana kebiasaan yang harus kita tiadakan. Kamu dan aku setuju bahwa beberapa hal yang masih ada di diri kita harus hilang. Bukan lagi tak menerima apa adanya. Tetapi jika itu mengarah kekeburukan dan tak baik untuk hubungan selanjutnya, apa salahnya ditanggalkan, sebab, apa yang akan kita bina sudah bukan rasa yang main-main. Namun, aku temui kau masih dengan kebiasaan yang sama. Bermain didunia maya. Menenggelamkan dirimu lebih dari waktu yang kau habiskan bersamaku pun dengan orang sekitarmu. Menjadi manusia asosial. Aku sempat berujar bahwa itu kebiasaan buruk. ‘Bagaimana dengan impian yang sudah kita gantung setinggi langit. Apa mau kau jatuhkan ke tanah dengan kebiasaanmu itu?’. Tanyaku yang mulai terbakar kesal.

 Kau meminta maaf untuk pertama kalinya. Dan berjanji akan mengurangi kebiasaan berdiam diri menghabiskan waktu untuk permainan di dunia maya. Aku luluh, mungkin saja ini menjadi akhir dari kebiasaan burukmu. Namun, Belakangan aku masih menemukan kau masih bergelut dengan dunia maya. Kau telalu asyik dengan kegiatan yang tidak hanya berdampak buruk pada kesehatanmu. Tapi juga aku yang kau gadang-gadang menjadi calon ibu dari anak-anakmu. Bukannya aku mempermasalahkan waktu untuk bertemu denganku. Tapi karena kau menomersatukan hal-hal yang tak perlu. Sedangkan mana yang harus didahulukan kau sampingkan. Bagimu ini masalah sepele, tapi tidak bagiku. Hal ini cukup membuatku berpikir lebih jauh. Bagaimana  jika nanti kita menikah, untuk keperluan rumah tangga saja aku harus menjabarkan padamu satu-satu. Harus berlomba dengan kebiasaan yang sangat menyebalkan itu.

 Lagi-lagi kau meminta maaf dan membuat janji yang sama. Kau terus saja membela bahwa apapun yang ingin kau lakukan selalu menunggu izinku, bahkan untuk hal yang kau anggap penyelamat waktu luangmu. Kita mulai sering berselisih paham. Berdebatan mengenai kebiasaan selalu menjadi alasan kita mengakhiri pertemuan. Kalii ini aku sudah lelah. Membiarkanmu dengan jawaban seadanya. Aku lelah untuk berdebat sedangkan kau masih sama. Kali ini kita tak sependapat hingga aku memutuskan bahwa tak bersama menjadi jalan keluarnya. 

 

Komentar