Tiba-Tiba Rasa Muncul Karena Hujan

(Source :Googlepic.com)

Pagi itu, kurasa semuanya masih sama. Aku tetap menjadi aku, dan kau pun tetap menjadi kamu. Aku masih senang untuk berteman dan bertemu dengan banyak orang. Pun dengan dirinya. Kita seperti dua orang asing yang berada satu tempat. Tak memiliki kebutuhan bahkan untuk sekedar berbincang tentang pelajaran. Kita memang sekelas tapi yang sedekat aku dan teman lainnya. Kita mungkin memulai hubungan dari sebuah pertengkaran yang tak begitu penting, aku sendiri merasa konyol jika mengingatnya. Tak menghiraukannya untuk waktu yang cukup lama karena perkara sederhana. Padahal itu kulakukan,karena memang tak ingin berbicara dengannya. Bukan karena dendam atau apapun yang bertujuan untuk merancau. Sebenarnya, saat itu aku merasa malu dengan tindakanku, karena semuanya bermula dari salahku dan aku tau dia menyadari hal itu. Hanya saja .....aku sendiri binggung, kenapa berminggu-minggu ku tak ingin berbicara dengannya.  Teman-teman mulai melontarkan gurauan yang mengarahkan bahwa aku menyukainya. Dengan alasan, aku selalu menghidar ketika namanya disebut. Aku pastikan bahwa saat itu tidak ada rasa yang mengarah dengan jawaban "ya.. ternyata aku meyukainya". Aku belum memikirkan sejauh yang mereka pikirkan.

Disuatu sore, setelah aku dan seluruh teman selesai melakukan magang, aku dan dia bertemu di kelas. Pelajaran dimulai kembali setelah 3 bulan dihabiskan untuk praktek kerja lapangan. Namun karena jam kosong, Sekelas  memutuskan untuk pergi ke bioskop bersama-sama. Kita pergi berbondong-bondong dengan kendaraaan masing-masing. Aku dan Dirinya pun yakin, saat itu tak perduli bahwa satu sama lain ikut. Bahkan kondisi didalam bioskop pun kita tak duduk bersama layaknya kekasih yang sedang kasmaran. Kita hanya dua orang biasa. Bersama tapi tak ada ikatan apa-apa. Hal berbeda kurasa saat akan pulang dari tempat nonton. Aku sempat binggung bagaimana aku pulang. Dan dia memberi tumpangan. Lebih tepatnya banyak dari teman-teman yang memaksa dirinya untuk mengantarkan aku pulang. Entah apa yang aku rasakan pertama kali saat dia bilang "iya..." . Yang jelas aku mulai gemetaran. Bukan karena takut diapa-apakan, aku gemetaran karena ini pertama kalinya satu kendaraan dengan orang yang selalu dikait-kaitkan denganku dan aku terus mengelaknya. Dan aku binggung bagaimana harus bertindak. Dadaku berdekup dengan kencang. Dia rasanya tau, aku tak bisa terlihat biasa saja. Sepanjang perjalanan kita hanya berbicara hal-hal yang tak penting.

Gerimis pun jadi pengiring perjalanan. Dia tak memutuskan untuk berteduh karena jarak rumahku semakin dekat. Ditambah juga, tak ada tempat berteduh sepanjang jalan itu. Kita menikmati hujan itu berdua. Aku hanya tertawa kecil menatapnya dari punggung bidang didepanku. Tak ada pikiran untukku bersandar, karena memang tak ada niat seperti itu. Hujan semakin deras. Aku menawarkan untuk berhenti dipinggir jalan dan memilih angkot sehingga dia bisa pulang kerumahnya. Kebetulan rumahnya juga kami lewati. Namun dengan nada tak terima dia mengatakan " enak saja.. sudah hujan gini disuruh pulang". Ada perasaan bersalah, namun senyum lebar tak bisa kusembunyikan lagi. Dia cukup lucu untuk bertingkah seperti itu. Ditengah perjalanan dia memintaku untuk pegangan, Aku juga tak tau maksud dari kata "pegangan" darinya. Karena dari tadi tanganku sudah aman tak perlu pegangan lagi, kecepatan lajunya pun menurutku standart, begitu penjelasanku. Tiba-tiba dia menyarankan aku untuk menutup jaketnya.
Menurutku dia manusia paling ribet saat itu. Sungguh!. Tapi karena ini menuju rumahku, dan aku juga merasa bersalah membiarkan dirinya kehujanan, aku turuti kemauannya. Sempat kesulitan karena jaket tersebut mengharuskan aku untuk mengunci dari depan, secara otomatis tanganku harus merangkul pinggangnya. Aku sempat mengomel kepadanya bahwa ini sulit. Aku menyarankan dirinya bisa meminggirkan motor sebentar dan melakukannya sendiri. Tapi ia menolaknya, dia berkata " kalau tidak bisa, coba kamu yang tahan itu" and finally i know what he meant with "pegangan". Aku sempat menggodanya, dia hanya menghindar dan menyuruhku untuk diam. Aku tak henti-hentinya tertawa, suasana yang semula canggung, bisa luntur karena hujan dan candaan. Aku sandarkan daguku di pundaknya, sembari bercerita perihal apapun itu A hingga Z, dia pendengar yang baik menurutku. Sejak hari itu, lebih tepatnya sore entah pukul berapa, di iringi hujan, rasanya seperti hangat. Aku mulai kecanduan untuk memikirkan perjalanan sore itu. Aku mulai menyakini bahwa aku menyukai dirinya. Tak apa jika dia belum paham bagaimana rasanya kecanduan hal-hal kecil yang kita lakukan. Selama itu bisa membuatku senang. aku akan terus mengingatnya.Aku tak merasa jemu. Karena dia pria meneduhkan dan sekali waktu tampak lucu. 


Komentar