Pagi itu, kurasa semuanya masih sama. Aku tetap
menjadi aku, dan kau pun tetap menjadi kamu. Aku masih senang untuk berteman
dan bertemu dengan banyak orang. Pun dengan dirinya. Kita seperti dua orang
asing yang berada satu tempat. Tak memiliki kebutuhan bahkan untuk sekedar
berbincang tentang pelajaran. Kita memang sekelas tapi yang sedekat aku dan
teman lainnya. Kita mungkin memulai hubungan dari sebuah pertengkaran yang tak
begitu penting, aku sendiri merasa konyol jika mengingatnya. Tak
menghiraukannya untuk waktu yang cukup lama karena perkara sederhana. Padahal
itu kulakukan,karena memang tak ingin berbicara dengannya. Bukan karena dendam
atau apapun yang bertujuan untuk merancau. Sebenarnya, saat itu aku merasa malu
dengan tindakanku, karena semuanya bermula dari salahku dan aku tau dia
menyadari hal itu. Hanya saja .....aku sendiri binggung, kenapa
berminggu-minggu ku tak ingin berbicara dengannya. Teman-teman mulai
melontarkan gurauan yang mengarahkan bahwa aku menyukainya. Dengan alasan, aku
selalu menghidar ketika namanya disebut. Aku pastikan bahwa saat itu tidak ada
rasa yang mengarah dengan jawaban "ya.. ternyata aku meyukainya". Aku
belum memikirkan sejauh yang mereka pikirkan.
Disuatu sore, setelah aku dan seluruh teman selesai
melakukan magang, aku dan dia bertemu di kelas. Pelajaran dimulai kembali
setelah 3 bulan dihabiskan untuk praktek kerja lapangan. Namun karena jam
kosong, Sekelas memutuskan untuk pergi ke bioskop bersama-sama. Kita
pergi berbondong-bondong dengan kendaraaan masing-masing. Aku dan Dirinya pun
yakin, saat itu tak perduli bahwa satu sama lain ikut. Bahkan kondisi didalam
bioskop pun kita tak duduk bersama layaknya kekasih yang sedang kasmaran. Kita
hanya dua orang biasa. Bersama tapi tak ada ikatan apa-apa. Hal berbeda kurasa
saat akan pulang dari tempat nonton. Aku sempat binggung bagaimana aku pulang.
Dan dia memberi tumpangan. Lebih tepatnya banyak dari teman-teman yang memaksa
dirinya untuk mengantarkan aku pulang. Entah apa yang aku rasakan pertama kali
saat dia bilang "iya..." . Yang jelas aku mulai gemetaran. Bukan
karena takut diapa-apakan, aku gemetaran karena ini pertama kalinya satu
kendaraan dengan orang yang selalu dikait-kaitkan denganku dan aku terus
mengelaknya. Dan aku binggung bagaimana harus bertindak. Dadaku berdekup dengan
kencang. Dia rasanya tau, aku tak bisa terlihat biasa saja. Sepanjang
perjalanan kita hanya berbicara hal-hal yang tak penting.
Gerimis pun jadi pengiring perjalanan. Dia tak
memutuskan untuk berteduh karena jarak rumahku semakin dekat. Ditambah juga,
tak ada tempat berteduh sepanjang jalan itu. Kita menikmati hujan itu berdua.
Aku hanya tertawa kecil menatapnya dari punggung bidang didepanku. Tak ada
pikiran untukku bersandar, karena memang tak ada niat seperti itu. Hujan
semakin deras. Aku menawarkan untuk berhenti dipinggir jalan dan memilih angkot
sehingga dia bisa pulang kerumahnya. Kebetulan rumahnya juga kami lewati. Namun
dengan nada tak terima dia mengatakan " enak saja.. sudah hujan gini
disuruh pulang". Ada perasaan bersalah, namun senyum lebar tak bisa
kusembunyikan lagi. Dia cukup lucu untuk bertingkah seperti itu. Ditengah
perjalanan dia memintaku untuk pegangan, Aku juga tak tau maksud dari kata
"pegangan" darinya. Karena dari tadi tanganku sudah aman tak perlu
pegangan lagi, kecepatan lajunya pun menurutku standart, begitu penjelasanku.
Tiba-tiba dia menyarankan aku untuk menutup jaketnya.
Menurutku dia manusia paling ribet saat itu.
Sungguh!. Tapi karena ini menuju rumahku, dan aku juga merasa bersalah
membiarkan dirinya kehujanan, aku turuti kemauannya. Sempat kesulitan karena
jaket tersebut mengharuskan aku untuk mengunci dari depan, secara otomatis
tanganku harus merangkul pinggangnya. Aku sempat mengomel kepadanya bahwa ini
sulit. Aku menyarankan dirinya bisa meminggirkan motor sebentar dan
melakukannya sendiri. Tapi ia menolaknya, dia berkata " kalau tidak bisa,
coba kamu yang tahan itu" and finally i know what he meant
with "pegangan". Aku sempat menggodanya, dia hanya
menghindar dan menyuruhku untuk diam. Aku tak henti-hentinya tertawa, suasana
yang semula canggung, bisa luntur karena hujan dan candaan. Aku sandarkan
daguku di pundaknya, sembari bercerita perihal apapun itu A hingga
Z, dia pendengar yang baik menurutku. Sejak hari itu, lebih tepatnya sore entah pukul berapa, di iringi hujan, rasanya seperti hangat. Aku mulai
kecanduan untuk memikirkan perjalanan sore itu. Aku mulai menyakini bahwa aku
menyukai dirinya. Tak apa jika dia belum paham bagaimana rasanya kecanduan hal-hal
kecil yang kita lakukan. Selama itu bisa membuatku senang. aku akan terus
mengingatnya.Aku tak merasa jemu. Karena dia pria meneduhkan dan sekali waktu
tampak lucu.
Komentar
Posting Komentar